[Resensi Buku] Ayahku (Bukan) Pembohong

Assalamualaikum pembaca! Yang Alifia ucapkan adalah Alhamdulillah, aku sangat berterima kasih kepada Allah karena memberiku kesenangan. Sedih atau senang, aku selalu berusaha untuk mensyukuri apa yang diberikanNya, karena menurutku orang yang bersyukur pasti merasa senang. Tetapi ada hadiah-hadiah yang membuatku senang minggu ini: yang pertama adalah, aku akhirnya bisa menuliskan liputan acara Beach Camp bersama Klub Sains Alam Koper Mandiri pada tanggal 23-24 Agustus. Dan... Yang kedua adalah, pihak TemanTakita.com atau Suara Anak memberiku penghargaan karena telah menjadi presentan Suara Anak seri ketiga 2014 (terima kasih banyak Suara Anak/TemanTakita.com dan meski aku nggak bisa hadir saat itu aku masih bisa mengirimkan video dan mendapat award) berupa piagam ditambah: 2 NOVEL YANG SANGAT AKU SUKA. Yap, aku dikirimi 2 buah novel yang menarik dan belum pernah kubaca sebelumnya, yang satu berjudul Ayahku (Bukan) Pembohong dan yang satunya adalah karya terkenal bagi orang-orang: novel Hafalan Shalat Delisa. Kedua-duanya karya yang berbobot dan menginspirasi, isi ceritanya sungguh mendidik. Namun, kali ini aku ingin menulis resensi buku Ayahku (Bukan) Pembohong. 



Buku karya Tere Liye ini memiliki kaver dengan ilustrasi yang menarik plus sesuai isi cerita. Background gambar kavernya adalah langit dan ada apel emas berjendela, di dalamnya ada beberapa pemain sepak bola yang tersenyum penuh kebanggaan. Serta dua orang yang berada di atas layang-layang. Dengan membaca judul dan melihat kavernya, membuatku para pembaca menjadi sangat penasaran.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang rapi dan bagus, variatif namun mudah dipahami. Membacanya jadi enak dan bahkan kuulang-ulang secara berturut-turut setelah selesai melahap bukunya. Dalam beberapa jam, aku menyelesaikan bacaan ini dan keesokan harinya atau nantinya aku akan mengulang bacaan itu. Wow, berarti sudah bisa ditebak, isi ceritanya tentulah sangat menarik. 

Kisah yang ditulis sangatlah inspiratif. Bayangkan, ketika seorang anak yang masa kecilnya dipenuhi dengan cerita-cerita yang dilontarkan ayahnya. Betapa beruntungnya memiliki Ayah yang suka bercerita... Apalagi kisahnya terbilang menarik. Bahkan, cerita-cerita itulah yang mendorongnya menjadi seseorang yang bersifat pantang menyerah, dan kebaikan lainnya. 

Seorang anak berambut kriting dan bertubuh kecil dengan nama hanya tiga huruf: D-A-M-Dam memiliki sesosok Ayah yang selalu menceritakan hal-hal indah, memberi semangat dan keren. Dan kisah dari sang Ayah membuat ia bersemangat melakukan banyak hal, termotivasi dan menutup telinga untuk celaan orang lain. Bertahun-tahun lamanya, dari SD hingga high school di sekolah berasrama Akademi Gajah yang menakjubkan. Kemudian, seiring usianya bertambah... Sayangnya...

Namun, cerita-cerita fantastis tersebut bukan hanya dianggap fantastis, namun juga dianggap (hanya kumpulan) fantasi penuh dusta yang diucapkan sang Ayah. 

Setelah menikah dengan teman baiknya semasa SD dulu, Taani, ia tinggal bersama kedua anaknya: Zas si sulung dan adiknya Qon. Tak lupa mengajak ayahnya tinggal bersama di rumah mereka. Bukan hanya dirinya yang mendapatkan kisah-kisah besar penuh keajaiban, namun juga anak-anaknya, Zas dan Qon. Kakek Zas dan Qon alias ayah Dam menceritakan kepada kedua cucunya tentang orang-orang tangguh dari Lembah Bukhara dengan apel emas, hubungan pertemanannya saat kecil dengan pemain sepak bola terkenal: El Capitano, El Prince yang menurunkan kehebatannya menguasai lapangan hijau kepada keponakannya, 'Si Nomor Sepuluh' yang juga mengenal Kakek mereka, kemudian, ada Raja Tidur yang berotak cemerlang dan menguasai 8 cabang ilmu pengetahuan, hingga Ibunya Dam yang seorang selebriti. Padahal, setahu Dam, ibunya adalah sesosok yang sederhana, sakit-sakitan, meski beliau cantik dan menikah dengan Ayah Dam. Terbesit di pikirannya "Mana mungkin Ibu seorang bintang televisi!" 

Hingga Dam menyatakan ketidak sukaannya kepada ayahnya serta menganggap ayahnya seorang pembohong. Diusirnya sosok yang saat itu sudah tua, berjalan sendiri keluar menebas ganasnya air hujan. Dan beberapa waktu sebelum sang Ayah meninggalkan bumi untuk selamanya, Ayahnya menggerakan mulutnya untuk bercerita tentang Danau Para Sufi.

Kemudian, Ayah yang dicintainya itu tiada. Dan ia baru menyadari bahwa semua yang dikatakan ayahnya itu bukanlah dusta, bukan suatu kebohongan. Bahkan, ribuan situs di dunia internet telah membuktikan sendiri kepadanya. Dan, 'Si Nomor Sepuluh' pun datang ke makam Ayah Dam. Betapa menyesalnya seorang anak yang baru mempercayai seseorang ketika orang itu telah meninggalkannya untuk selamanya... Menurutku: berfikirlah sebelum melakukan sesuatu, penyesalan itu tak ada gunanya. Namun, yang terpenting Dam telah menyadari kesalahan dalam kesimpulan yang dibuatnya. Hatinya berkata, (ternyata) "Ayahku (Bukan) Pembohong"

Pembaca yang budiman, saatnya menentukan. Karena menurut kalimat terkenal "Kami (penulis) memberitakan, anda menentukan". Sebagai seseorang yang menulis resensi ini, aku menyerahkan kepada kalian pilihan untuk ikut menikmati buku ini atau tidak. Tertarikkah kalian? Ayoo, beli bukunya dan nikmati isinya. Semoga bermanfaat :) 

Comments

Popular Posts