#Perjalanan 2 Hari Menapak Pasir

Perjalanan kali ini sungguh berbeda. Karena begitu banyaknya kepentingan, tak setiap kali saya bisa jalan-jalan. Kali ini, akhirnya saya dan keluarga dapat melakukan persinggahan yang mengesankan. Setelah bersabar menunggu di waiting list karena pendaftar yang membludak, akhirnya saya dapat terdaftar dalam peserta Beach Camp bersama Klub Sains Alam KOPER Mandiri. Beach Camp? Ya, berkemah dengan lokasi di tepi pantai. Klub Sains Alam KOPER Mandiri memilih Pantai Siung untuk tempat berkemah. Selain perkemahan, diadakan juga pengamatan-pengamatan yang edukatif namun dikemas sebegitu menariknya sehingga tak ada yang bosan dalam mempelajari laut dan pantai, tentu saya beserta biotanya. 

Ketika mobil memasuki area tepi pantai, saya langsung menurunkan kaca mobil. Bau laut yang menusuk hidung dapat tercium dan angin berhembus menyejukkan. Seolah mengatakan "selamat datang", pemandangan kali ini luar biasa. Seketika, menghilangkan rasa penasaran saya. Di perjalanan, ada pertanyaan yang saya berikan kepada Mama saya, "Mamah, airnya bersih nggak? Kok yang di internet bersih?". Mama saya yang lebih sering dilafalkan Mamah itu memberikan jawaban yang mengecewakan, "ya belum tau, kalau di pinggir biasanya agak hijau. Kalau di tengah karena semakin dalam, warna airnya biru. Di Lampung waktu Mamah kecil dulu seperti itu..." Di benak saya, warna laut yang hijau itu kotor dan tak bening. Namun, kami salah besar setelah lautnya memberi sendiri jawabannya kepada kami!
Setelah 5 jam perjalanan dari Kota Semarang, dan melewati jalan yang curam dan berliku-liku akhirnya kami sampai dengan selamat di tempat tujuan. 
Pantai Siung. Pantai yang terletak di Kabupaten Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta ini memiliki ombak yang bergulung-gulung liar. Pantas saja, tak ada perahu untuk wisatawan yang ingin menikmati air laut di bagian tengah. 
Ketika baru turun dari mobil, saya langsung mencari kamera kecil andalan saya dan menjepret objek di depan mata yang menarik. Tentu saja pantai dan lautnya yang begitu impressive. Airnya yang bening, ombaknya yang berdebur kencang dan karst berbentuk topi di kanan kirinya... Di pantai, ganggang dan cangkang-cangkang biota laut tergeletak di pasirnya lantaran pasang yang hebat, menyapu hingga ke pantai yang paling pinggir sekalipun. Tanaman sejenis bakau tertanam di tempat ini, dan saya menduduki akarnya...









Satu kata untuk menggambarkan keadaan Pantai Siung: bersih. Pantai dan air laut di Indonesia banyak yang telah tercemar namun saya bersyukur dengan yang satu ini, bersih, tidak mengecewakan. Penikmatnya tak sebanyak pantai lain. Begitu pun penjaja makanan. Namun, ada sebuah warung makan yang menghilangkan rasa lapar kami di tepi pantai. Sebelum membasahi diri dengan air laut, saya 'membasahi' lidah dengan hangatnya kuah soto beserta mengisi energi dengan nasi dan potongan daging ayam dalam semangkuk soto yang menyegarkan. Di tempat yang anginnya berhembus kencang ini, tak heran makanan penghangat seperti soto dijual untuk pengunjung. 
"Teh poci ya, Bu!" Mama saya memesan teh poci dan penjualnya sudah menghitung jumlah cangkir yang kami butuhkan, tiga buah. Saya, Mama saya dan Papa saya. 
Tak berapa lama, penjual itu menyodorkan nampan dengan tiga cangkir teh, dan seteko teh poci yang masih panas. Tanpa kami duga, sajian minuman itu disusul dengan setermos besar teh panas lagi. "Untuk tambahan kalau kurang.", begitu kata si penjual.
"Wah, Papah suka kalo teh yang kayak gini..." kata Papa saya. "Lho, Bu ini apa yang berwarna kuning?" lanjutnya, menunjuk sebongkah benda kuning di dalam cangkir kami, menanyakan kepada si penjual. 
"Itu gula batu.." Gula batu kuning itu saya biarkan larut dalam teh yang telah dituang ke dalam cangkir. 
Kemudian, soto pun datang dan kami menikmatinya, mengisi perut untuk aktivitas selanjutnya. Menapakkan kaki di pasir putih Pantai Siung dan merasakan kesejukan airnya.

Iseng-iseng, saya menjilat air laut yang rasa asinnya menyengat itu. Tak lupa memotret algae atau ganggang di bawah air dengan menggunakan kamera yang dilindungi underwater cover. Saya teringat sebuah kalimat pada halaman 12, rubrik Trip Kita-Kisah Perjalanan Anda, Majalah National Geographic Vol. 6 No. 5 yang ditulis oleh Irman Maulana tentang pesan ketika mengunjungi situs alam. "Mari sama-sama kita nikmati indahnya alam Indonesia ini dengan cerdas, yaitu tanpa merusaknya. Seperti pesan yang kerap kita temui bila melakukan pendakian di gunung, bunyinya; jangan tinggalkan apa pun kecuali jejak dan jangan ambil apa pun kecuali foto." Maka saya mengurungkan niat untuk membawa pulang beberapa 'benda kenangan' berupa makhluk hidup..., contohnya algae. 










Ketika sedang menyusuri pantai, saya menemukan landak laut yang terdampar, yang pastinya disebabkan oleh pasang semalam. Hewan dengan duri bagai landak ini sudah tak berdaging, kering, mati. Namun, tak ada salahnya untuk mengambil gambar makhluk ini. 




Tak terasa, tiba-tiba saja sudah pukul 10. Kami menyaksikan aktivitas nelayan yang baru pulang melaut. Perahu yang mereka tumpangi tampak begitu kecil, bergoyang-goyang karena deburan ombak yang bergulung-gulung tanpa henti. Tak terbayangkan ketika perahu nelayan itu berjuang di tengah laut. Ketika mereka mendarat, rasa penasaran mengusik hati saya. Saya mendekati orang yang sedang mencuci ikan pari, untuk memotret ikannya. 





Di pelelangan, saya dapat melihat hasil tangkapan yang besar-besar. Kerja keras nelayan-nelayan ini tampaknya tak sia-sia. Namun, ada juga ikan yang tak terlalu besar tertangkap. Tangkapan laut ini siap diperjual belikan di pasar. Ketika sampai di pasar tak segar lagi, tetapi sekarang masih segar dan bau amis yang menusuk hidung malah menaikkan selera makan untuk mengonsumsi olahan laut. Mungkin besok, kami dapat menyantap kudapan a la penduduk pinggir-pantai




Sembari menunggu peserta Beach Camp lainnya, saya ditemani orangtua saya menikmati suara ombak dan angin sepoi-sepoi, duduk pada akar tanaman sejenis bakau yang ikut menyejukkan udara. Mungkin sebentar lagi. Namun, tiga buah tenda telah kokoh berdiri di bawah pohon. Saya menebak apakah ketiga tenda yang dibangun itu milik angota klub Sains-nya, karena ini pertama kalinya saya bergabung dan belum mengenal orang-orangnya. Dan karena pakaian yang saya kenakan basah serta berpasir, saya memutuskan untuk membersihkan diri. Di sebelah tempat pelelangan, ada beberapa kamar mandi kosong. 

...

Rasa bosan yang perlahan berdatangan membuat saya tak ingin duduk diam. Dengan berjalan kaki di pinggir pantai, saya mendapatkan lebih banyak foto dan yang lebih baik, saya melihat peserta Beach Camp mulai berdatangan. Saat yang tepat untuk berkenalan, sebelum pendirian tenda dimulai. Tak banyak teman yang sebaya, lebih banyak peserta cilik yang hadir. Namun, tak ada yang berdiam dan tak memeriahkan suasana. 

Tenda-tenda didirikan dan setiap keluarga telah memasukkan bawaan ke dalamnya. Siang menjelang sore, anak-anak asyik berbasah-basahan di laut yang mulai surut. Keberadaan laguna terlihat semakin jelas. Maka, saat ini adalah waktu yang tepat dan aman untuk menceburkan diri. Lantaran sudah kering dan bersih, saya lantas menggulung celana dan memotret teman-teman baru saya yang berwajah gembira. Tak ada yang murung saat ini, kalau hanya melipat wajah dan berdiam diri, menyesal. Lensa kamera saya tak hanya mengarah pada keceriaan teman-teman saya, namun beberapa pengunjung lainnya yang merendam diri di sisi lain tepi laut. 



Tiba saatnya acara pengamatan biota laut, salah satu yang saya tunggu-tunggu. Saya bukan orang yang menyukai ide belajar biologi. Tetapi, mempelajarinya lewat kertas pada buku dan melihat secara langsung itu berbeda. Kami mendapat sajian spesial tentang biota laut dari tante Nunung yang menjelaskan kepada kami tentang biota laut. Setelah mengganti celana dengan mengenakan celana yang telah basah pagi tadi, saya menyelupkan kaki ke laut. 

Sore itu, ganggang hijau terlihat di mana-mana. Ada juga ganggang berwarna kecokelatan yang saya cicipi, terasa begitu asin di lidah. Namun, tak masalah karena saya penyuka makanan segar yang baru diambil dari tempat asalnya. Namun, ganggang cokelat dan terlalu banyak ditemukan. Selain itu, ada juga umang-umang yang termasuk gastropoda. Setiap pertumbuhan ukuran, ia akan mencari rumah atau cangkang baru yang lebih besar. 

Katanya, sekarang sedang musim bintang mengular atau spiderstar. Makhluk laut ini menarik perhatian saya. Mungkin ada yang mengiranya sebagai bintang laut. Bintang mengular sungguh berbeda. Gerakannya yang menggelitik dan meliak-liuk bagai ular mungkin adalah salah satu alasan yang menjadikan sebutannya 'mengular', dan bentuknya memang seperti bintang. Tak sedikit yang takut dengan binatang ini. Makanannya adalah algae dan mereka terselip di pasir dan batu-batuan di dalam air. Apabila ditarik, maka akan putus, namun dapat tumbuh lagi. 




Landak laut pun ditemukan di area pasang surut, yaitu area kami melakukan pengamatan biota laut. Meski sulit mencarinya, akhirnya saya menelan sedikit telur landak laut yang segar, kaya protein dan rasanya nikmat. Warnanya oranye cerah dan dengan hati-hati saya menyentuhnya untuk mengambil telur binatang ini. 


Beruntung Ayah saya bekerja di kantor perikanan dan ia lumayan mengerti tentang biota laut. 
"Landak laut kalau durinya menusuk kulit akan menyatu dengan daging, tidak berbahaya. Kalau tertusuk tinggal dikencingi saja dengan landak laut itu sendiri. Yang bahaya itu stonefish karena motifnya yang mirip batu kita tidak tahu keberadaannya kalau tidak memperhatikan. Ia berkamuflase.." 

Seusai pengamatan biota laut, kami diberi instruksi untuk naik. Apakah acara kali ini? Secara mendadak saya diberi tugas sebagai petugas pengibar bendera. Latihan singkat yang saya jalani bersama kedua teman saya, Lala dan Arvi menjadi menyenangkan. Bendera yang saya pegang terus terkena tiupan angin kencang sehingga jemari saya menjepitnya erat. Ini pertama kalinya saya melaksanakan upacara di tepi pantai. Bukan yang formal dengan peraturan ketat seperti di sekolah memang. Tetapi, ini salah satu bukti nasionalisme kami. Jujur, setelah homeschooling saya sedikit lupa tentang tata cara upacara. 




Setelah upacara selesai, peserta Beach Camp berdiri dekat tiang bendera bambu sambil menyanyikan beberapa lagu kebangsaan. Pemandangan yang tak biasa...

Dilanjutkan dengan perlombaan 17-an (karena seminggu yang lalu adalah hari kemerdekaan Indonesia), saya menolak mengikuti satu pun lomba untuk mendapatkan setiap gambarnya... Dari mulai balita hingga anak-anak mengikuti perlombaannya. Acara ini berlangsung seru dan menyenangkan. Selain perlombaan memindahkan bendera, ada juga memasukkan paku ke dalam botol hingga balap karung. 




Tak terasa, hari mulai senja. Matahari mulai mengantuk dan mengatupkan matanya. Maka, Sang Malamlah yang akan datang menyambut. Malam ini, tak akan sunyi. Kami akan menyalakan api unggun dan tukar hadiah setelah makan malam dan sebelum tidur. 


Setelah melaksanakan sholat Maghrib dijamak sholat Isya`, saya makan bersama teman-teman dari Klub Sains Alam KOPER Mandiri. Makanan yang telah disediakan dapat kami nikmati sepuasnya. Saya mengambil tempe dan sayur, dan minumannya, saya meneguk segelas teh hangat. 

Tiba saatnya kemeriahan ini dimulai. Saya mempersiapkan gitar untuk meramaikan acara ini dan kado untuk bertukar hadiah. Kami berkumpul di pantai dan api unggun dinyalakan. Pertama-tama, yang dilakukan adalah tukar hadiah. Setelah itu, waktunya untuk menyanyi bersama-sama. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu nasional dan daerah. Dengan diiringi gitar, lagu-lagu ini menjadi begitu meriah. 

Apabila ada yang ingin tampil, tentu saja diperbolehkan. Beberapa anak laki-laki merencanakan drama pendek untuk penampilan. Sederhana, namun mereka menyalurkan kreatifitas. Hanya dalam beberapa menit mereka mendapat ide. Kemudian, giliran saya yang unjuk gigi. Tiga lagu saya nyanyikan malam ini, mendapat tepuk tangan yang cukup banyak. Setiap penampilan di sini mendapatkan respon yang baik, kami saling menghargai...


Sekarang, kami semua diperbolehkan tidur. Namun, tersisa beberapa orang yang masih berada di pantai. Mengobrol, bersuka ria. Namun, saya langsung masuk ke dalam tenda dan mengobrol sebentar, lalu tidur. Angin yang menyejukkan dan pasang yang tinggi malam ini membantu menidurkan saya. Kamp kami aman dari air pasang yang sebegitu tingginya, saya tak perlu khawatir tidur nyenyak.

Hari kedua...

Saya dibangunkan saat fajar, langit masih gelap dan gelombang pasang masih dilihat. Saya terheran-heran karena deburan ombak yang sangat berisik tak membuat tidur saya terganggu. Setelah mengambil air wudhu, saya menjalankan sholat shubuh di depan tenda. Mushola yang ada terlalu jauh dari kamp dan tak berlampu. Lebih baik beribadah di depan tenda. 

Ada pengalaman kecil yang menarik. Berkali-kali buang air di kamar mandi gelap telah melatih saya untuk tak takut ke kamar mandi sendiri meski gelap sekalipun. 

Langit mulai terang. Saya mengalungkan kamera dan berjalan-jalan di pantai, merekam beberapa video dan naik ke sebuah tebing. Jalannya licin dan dari situ kita dapat melihat laut dari atas. Terlihat lebih bagus daripada hanya menikmati pemandangannya dari satu sisi. Meski agak mengerahkan tenaga dan sedikit berjuang menaikinya, akhirnya sampailah saya pada tebing yang tak berpegangan pada bagian kanan kirinya. Dari atas, dapat terlihat tempat penangkapan lobster. Awalnya, saya kira hanya batu-batu raksasa biasa yang diterpa ombak dan terkikis perlahan. 





Beberapa peserta Beach Camp juga naik ke tebing dan berpapasan dengan saya. Namun, akhirnya Om Ical memberi kami instruksi untuk turun karena akan ada penelitian tentang air laut dan karst. Dijelaskan olehnya tentang swosh dan back-swosh. Swosh adalah gelombang yang berasal dari laut dan datang ke pinggir laut. Sementara back-swosh adalah sebaliknya. Back-swosh lebih kuat dari swosh dan dapat menarik seseorang. Itu sebabnya kita harus berhati-hati. Ada juga arus yang berbentuk 'V' atau diibaratkan pantulan. Berasal dari satu sisi dan menarik ke sisi lainnya yang seperti pantulan atau arah berlawanan. Menggunakan arus itu, tim SAR terbantu untuk mencari seseorang yang lenyap, semisal dari laut A, maka mungkin saja dia berada di laut B atau C, tergantung arah arusnya.

Setelah itu yang kami pelajari adalah Karst. Benda yang berasal dari batu karang dari dasar laut itu kini berdiri kokoh di bagian kanan laut. Ada pula yang berbentuk topi, yaitu bagian bawahnya lebih menjorok ke dalam disebabkan oleh pengikisan karena air laut pada bagian bawahnya, sementara bagian yang atas tak terkena air laut. Dahulu, Karst bukannya berada di tempat yang terjangkau air seperti sekarang. Di lubang-lubang Karst, kita dapat menemukan biota laut yang sudah mati. Karst juga pemasok air yang sangat baik. Monyet-monyet mendapatkan air dari Karst ketika mereka membutuhkannya. 

Kami menjelajahi Karst dari setiap bongkahan raksasanya. Licin dan curam, namun tak lantas membuat kami menyerah. Banyak yang mengagumkan di atas sana. Saya menemukan sebuah tenda di atas Karst, milik pengunjung lain yang memilih perkemahan di atas Karst. 






Klub Sains ini turun ke pantai secara bersamaan. Ada serangkaian kegiatan lainnya. Pagi ini, kami membuat pigura yang ditaburi pasir dan kegiatan ini dinamai Beach Art. Saya bukanlah pecinta handy-craft dan meninggalkan pekerjaan ini, menyerahkannya pada Mama saya, "Mamah aja yang bikin, ya Ma? Main dulu ya?" 
Saya bergabung dengan anak-anak lainnya yang bermain di air, mencari gulungan ombak. Jauh dari perkiraan, pasang hari ini berlangsung hingga tengah hari. Air laut yang menyerbu pasukan kami membuat pasir dapat masuk ke celana panjang saya. 




Ketika matahari semakin menampakkan wajahnya, justru ombak semakin bergulung-gulung hebat. Secara bergiliran kami membersihkan diri.

Satu persatu tenda dilipat dan kami bersiap-siap pulang. Semua barang sudah dimasukkan ke bagasi mobil. Saya ingin segera pulang. Namun, keinginan orangtua bertolak belakang. Saya memutuskan untuk mengikuti mereka saja. Meski hanya menyesap teh poci, saya menunggu mereka menikmati ikan bakar. Ketika sudah sepi, barulah mobil meluncur keluar kawasan Pantai Siung. Ini pengalaman pertama saya berkemah di tepi pantai. Selama 2 hari 1 malam, bersama Klub Sains Alam KOPER Mandiri saya belajar banyak hal, melakukan kegiatan mengasyikkan dan penuh kebersamaan. Dan saya bersyukur, karena tak ada hal yang lebih indah daripada bersyukur[]







Comments

Post a Comment

Popular Posts