Melihat Wajah Palembang, Agustus 2015


Teks dan Foto oleh: Alifia Afflatus Zahra
    
Selama beberapa jam, saya terjebak dalam ketidaknyamanan yang agaknya tak berujung. Dimulai dengan menaiki pesawat dalam keadaan flu – di mana pengaruh lendir dalam hidung saya – beserta tekanan udara yang berbeda, menjadikan pendengaran saya jauh berkurang selama penerbangan 50 menit ke Jakarta. 

   Begitu turun dari pesawat, tak ada yang berbeda. Gangguan di hidung dan telinga benar-benar membuat saya lelah selama transit – kira-kira dua setengah jam – di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Keadaan bahkan bertambah buruk ketika saya melanjutkan penerbangan selama hampir satu jam ke kota Palembang, yang tak lain adalah kota tujuan saya saat itu.




Lemari dengan desain khas Sumatera Selatan ini berisikan kain-kain songket.
   Walau flu yang melanda sungguhlah menganggu, hal itu setidaknya berkurang tatkala saya menapakkan kaki di bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Palembang, Sumatra Selatan. Ini adalah yang pertama kalinya saya melihat wajah Palembang. Padahal, lumayan banyak anggota keluarga yang berdomisili di kota ini. Tak heran, semangat saya kali ini mulai tumbuh – semangat untuk menjelajahi sejumlah titik menarik di tempat ini. Dan tentunya... berkumpul dengan sanak saudara. 

Diambil dari dalam gedung bandara Sultan Mahmud Badaruddin.
   Kebetulan pula, kesempatan berkunjung itu datang pada pertengahan Agusutus. Yang artinya, selama beberapa hari ke depan, suasana peringatan kemerdekaan di sisi lain Indonesia akan saya rasakan. 

   Salah seorang anggota keluarga besar menjemput di bandara setelah saya beberapa menit menunggu. Ia menggunakan mobilnya, yang kemudian membawa kami meluncur ke jalan-jalan besar kota Palembang. 

   “Kota Palembang itu panas... dan rawan macet.” ungkapnya sambil tersenyum.

   Benar saja. Sore itu, dan pada hari-hari berikutnya, saya saksikan sendiri betapa sebagian sisi dari jalanan di Palembang begitu ramai dan tak teratur. Nyatanya, kemacetan telah menjadi salah satu ciri khas kota-kota besar di Indonesia. Tetapi, saya terkejut karena di tempat ini, kemacetan semakin menjadi-jadi. Di sebuah jalan raya di Palembang, pada jam-jam di mana seharusnya polisi bertindak – di kala arus lalu lintas pada jam aktifnya, seperti jam berangkat-pulang kerja dan sekolah – saya melihat bahwa polisi justru cuma berlalu, seolah tidak peduli dengan kekacauan yang ada.

Pengendara motor yang melintas di Ampera. Di sampingnya, nampak jelas sungai Musi.

Lazimnya pada malam hari, air mancur ini menarik minat wisatawan untuk menjadikannya objek foto.
   Di luar itu, suasana perkotaan di ibukota Sumsel ini tak jauh berbeda dengan wilayah perkotaan lainnya di Nusantara; dipenuhi bangunan tinggi dan gedung-gedung modern lainnya. Hanya saja, beberapa kali, sorotan mata saya menangkap beberapa rumah panggung – rumah tradisional Palembang – yang berjajar dengan kokoh di pinggir jalan besar, sisanya berderet di lorong atau gang yang kala itu dipenuhi kendaraan. 

    Pada masa ketika banyak hal dalam aspek kultur lama telah dihunus pedang zaman, di mana manusia banyak mengambil opsi desain-desain rumah modern, segelintir rumah bermodel tradisional yang masih tersisa menghiasi kota besar ini, saya pikir perlu dipertahankan.

   Tak dapat dipungkiri lagi, pada abad ke 21 ini, budaya lama sudah dipastikan mudah terhapus perlahan-lahan – digantikan dengan budaya baru yang mungkin lebih efisien. Namun, tetap saja jejak-jejak budaya sehari-hari masa lalu masih dapat terlihat. 

   Dalam segi kuliner misalnya – salah satu aspek yang menonjol. Kedudukan pempek tetaplah paling tidak hampir setingkat dengan nasi – makanan pokok masyarakat Indonesia – di kota Palembang dan kota-kota lain di Sumatera Selatan. Pagi, siang, sore dan malam, mulut penduduk mengunyah pempek, tanpa perasaan bosan, seakan-akan cita rasanya telah menyatu dalam jiwa mereka. Mau tak mau, selama setengah bulan di kota ini, saya pun perlu membaur dengan tradisi ini. 

   Akan tetapi, terbiasa mencicipi rasa yang bervariasi tiap harinya tak lantas membuat saya bosan menyantap menu yang hampir setiap saat sama. Pasalnya, pempek yang terenak hanya ada di Palembang. Pempek dengan rasa terbaik di kota tempat tinggal saya Semarang, adalah yang memiliki rasa terburuk di Palembang. Maka dari itu, kesempatan berkunjung di ibukota Sumatra Selatan ini tak akan saya sia-siakan. Selama makanan khas Palembang tersedia, saya ambil kesempatan untuk menyantapnya hingga puas. 

   Bukan cuma itu. Kesempatan emas mencicipi cita rasa makanan penduduk Palembang saya dapatkan di sebuah warung di mana pengunjung dilayani oleh seorang berwajah Arab, dan di beberapa sudut ruangan, wajah-wajah etnis Timur Tengah pun nampak bercakap-cakap. Warung makan ini menjual menu dengan judul yang terdengar agak tak lazim; burgo, celimpungan atau adonan sagu dan ikan yang dimakan bersama kuah santan yang berasa khas rempah, dan juga menyediakan pempek dos, alias pempek yang dibuat tanpa menggunakan daging ikan giling, melainkan hanya tepung.
 

   Pun, di sebuah kediaman saudara kami – saya, Mama dan Papa disodori menu makanan yang terbungkus daun. Aroma buah durian menguar dari buntelan daun tersebut. Jujur saja, saya jijik terhadap bau durian, dan belum pernah sekalipun mencicipi rasa daging buahnya. Namun, hal yang terjadi berbeda tatkala saya membuka bungkusan yang saya sebut-sebut tadi. Ikan patin keperakan (yang telah dimasak tentunya) terkapar dalam kuah oranye kemerahan. Ikannya mengundang selera. Kuah yang merendamnya memang beraroma tak sedap – kuah itu adalah tempoyak, yang berbahan dasar durian. Penampilannya yang membuat saya lapar pun akhirnya membuat saya mau mencicipi makanan yang rupanya berbahan ikan dan durian itu. Kadangkala, saya meringis saat merasakan kecutnya durian yang melapisi kulit ikan itu. Tetapi, tetap saja papila lidah menikmati rasanya, meski ada rasa durian yang menghiasi segarnya ikan tersebut.


   Omong-omong soal ikan, ada distingsi besar antara penjualan ikan di Palembang dengan kota-kota di pulau Jawa. Di sana – jika tidak di kepulauan terpencil yang benar-benar menghampar di daerah pesisir – saya tak bisa menemukan ikan segar. Diberi bumbu apapun, kebanyakan ikan di Jawa tetap akan berbau dan berasa lumpur, tak lagi segar. 

   Sementara itu, di Palembang, pasar-pasar tradisional berdagang ikan-ikan hidup yang masih segar – baik itu yang berasal dari sungai maupun laut. Mereka tampak menggelapar dalam bak air persegi, kira-kira sepanjang 1,5 meter. Jadi, pasar-pasar di sana dipenuhi bau amis ikan-ikan yang masih bernyawa. Tentulah ikan yang tak lagi hidup juga dijual di sini. Sebagian besar berupa gilingan – wujud banyaknya permintaan daging ikan giling terhadap para pedagang, sebagai bahan dasar pempek. Faktanya, banyak orang tak mau membeli untuk makanan rumahan jika ikannya sudah lemas atau bahkan mati. Ikan-ikan beku hanya diminati oleh pihak restoran dan rumah makan.

   Pada malam kedua, 16 Agustus 2015, saya dan keluarga besar memutuskan untuk berkeliling kota, memuaskan keingintahuan saya terhadap situasi kota ini. 

   Tujuan kami tak lain adalah BKB, abreviasi dari Benteng Kuto Besak, yang termasuk situs bersejarah peninggalan Kesultanan Palembang yang pembangunannya diprakarsai oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada abad ke-18. Namun, bukan Badaruddin sendiri yang menyelesaikan pembangunan benteng itu, melainkan seorang penerusnya, Sultan Mahmud Bahauddin yang memegang tahta pada 1776 hingga 1803.




   Sejarah mencatat bahwa tarikh pembangunan benteng ini ialah pada 1780. Ada secuil fakta menarik tentang bangunan ini. Rupanya, batu kapur dari Sungai Ogan dan putih telur-lah yang menjadi semen perekat material pembangun Benteng Kuto Besak yang berdiri kokoh hingga kini. 17 tahun pembangunan tidaklah sia-sia. Sebab, pada Senin, 21 Februari 1797, akhirnya bangunan ini diresmikan sebagai keraton Kesultanan Palembang.

   Di luar hamparan dindingnya yang cukup lebar, anak-anak tampak bermain mobil dan motor mini sewaan. Keluarga-keluarga menggowes sepeda lampu, sisanya berbelanja. Cukup ramai spot ini pada malam Minggu. Apalagi mengingat esok adalah hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Sementara itu, sebuah titik di BKB menampilkan teratak yang telah dipersiapkan untuk acara keesokan harinya, dengan beberapa orang yang tengah bercengkerama, sembari terlena mendengarkan lagu ber-genre dangdut. Malam ini, titik ini digunakan sebagai tempat hiburan sementara untuk pria-pria yang duduk-duduk di sana sambil mendengarkan musik. Besok, mungkin ada acara lain, yang sayangnya tidak saya ketahui. 

   Berjalan di sekitar icon kota ini, kami menemukan beberapa objek foto autentik nan menarik. Di lapangan besar, di bantaran sungai Musi di mana jembatan Ampera nan gagah terlihat jelas, bertambah apik dihiasi dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dan lampu-lampu beraneka warna. Tepat di tepi sungai bagian kiri, warung-warung terapung yang bertempat dalam perahu kecil menampakkan kehidupan jual-beli. Beberapa pengunjung membeli barang dagangan di warung apung itu, sekedar untuk bersantai, menikmati malam minggu.





   Di lapangan yang ramai dihamburi langkah kaki manusia tadi, sebuah grup seniman jalanan, yang personelnya memainkan alat-alat musik tradisional dengan aliran musik tradisional pula, berniat menghibur pengunjung, dan meraup penghasilan dari kebolehan bermusik mereka. Saya berusaha memotret mereka beberapa kali. 




   Sementara itu, di dekat lapangan, bangunan yang didominasi warna merah berdiri. Pusat gerai-gerai makanan dan minuman modern macam Chatime, J.CO, KFC, dan lainnya tak lain adalah gedung ini. Di lantai atasnya, pementasan band lokal tengah berjalan. Di bagian belakang tempat ini, tepat di sebelah gerai J.CO yang lumayan luas, Ampera dapat terlihat dengan jelas – tanpa tertutup oleh keramaian dan bangunan-bangunan yang berdiri di sekitarnya. Di tempat inilah saya mengakhiri waktu bersenang-senang di BKB – mengambil gambar, mengobrol ringan, dan mengamati situasi sekitar.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II yang malam itu tidak dibuka untuk pengunjung.

    Senin, 17 Agustus 2015. Agaknya, hari peringatan kemerdekaan Indonesia yang kebetulan jatuh pada hari Senin ini menjadi keberuntungan buat banyak orang, apalagi pelajar. Pasalnya, mereka mendapat libur pada hari yang lazim dianggap membosankan. Hari ini, mereka tetap akan melaksanakan upacara bendera. Selebihnya, tak ada kegiatan di kantor atau sekolah-sekolah pada saat itu.

   Kegiatan mereka digantikan dengan serangkaian acara yang sebagai wujud peringatan rakyat Palembang terhadap kemerdekaan Indonesia. Salah satunya saya saksikan di sebuah lorong alias gang sempit di daerah jalan Bukit Siguntang atau Bukit Seguntang. Di sebuah lapangan yang berhadapan dengan rumah-rumah penduduk, dan tak jauh dari sebuah SMK – warga berkumpul menambah kemeriahan peringatan kemerdekaan Indonesia tersebut.

   Sayangnya, yang saya saksikan cuma lomba makan krupuk – dan pada sore harinya, tatkala saya berjalan-jalan di pusat kota bersama sepupu-sepupu, terjebak kemacetan, saya justru dapat melihat perlombaan panjat pinang di pinggiran jalan, di depan deretan ruko yang belum jadi. Lomba panjat pinang, cukup langka di Jawa, mungkin karena pinang itu sendiri eksistensinya mulai pudar. Sementara di sini, di Sumatera Selatan, budaya perlombaan panjat pinang masih terjaga, walau sebetulnya juga berkurang. 

   Namun, di antara serangkaian perlombaan-perlombaan 17-an tadi – tak ada yang lebih menarik minat saya menonton selain perlombaan bidar, yang konon berasal dari nama biduk lancar. Sejarah mencatat, nama lama bidar adalah pancalang, dan nama ini diperoleh karena laju perahu yang sungguh cepat. Dahulu, pihak kesultanan Palembang-lah yang memanfaatkan perahu-perahu ini sebagai kapal patroli untuk mengawasi keamanan 100 anak sungainya. Tak hanya itu, kurir, petugas penghubung, dan bahkan keluarga Sultan pun menggunakan perahu ini. Bedanya, keluarga Sultan sekedar menggunakannya untuk berkeliling.


Di pinggir sungai Musi yang tengah diramaikan oleh kapal dan perahu.


   Seiring waktu berlalu, cepatnya laju perahu bidar digunakan untuk perlombaan sebagai budaya yang dilaksanakan tiap Agustus, tepat pada hari kemerdekaan – dan pada beberapa peringatan lainnya, seperti peringatan kelahiran kota Palembang. Tradisi inilah yang memang menjadi ciri khas Palembang tiap peringatan kemerdekaan; ketika perahu-perahu yang berukuran panjang dengan jenis perahu bidar tradisional – masing-masing perahunya memuat 57 pria – beradu cepat bergerak di sepanjang sungai Musi, diiringi dengan perahu-perahu hias yang beraneka konsep. Meski begitu, perlu disayangkan karena tiap tahunnya, penyusutan peserta terjadi.  

   Menurut cerita rakyat Sumsel, perlombaan ini digelar demi mewujudkan penghormatan terhadap seorang figur kisah roman tragedi Dayang Merindu yang ingin membelah dirinya menjadi dua demi berlaku adil terhadap dua pemuda yang mencintainya – Dewa Jawa dan Kemala Negara – lantas menguburkan tiap belahan tubuhnya bersama kedua pemuda tersebut. Keduanya diceritakan telungkup tak bernyawa setelah melakukan berlomba memacu perahu di Sungai Musi, demi menentukan pemenang yang akhirnya akan berhasil memperebutkan pujaan mereka, Dayang Merindu. Sayangnya, sebelum keputusan Dayang Merindu itu terwujud, ujung kecil dari sebilah pisau terlebih dahulu menghunus tubuhnya.

   Beberapa potong sejarah di atas, semakin saja membuat saya penasaran terhadap tradisi ini. Untunglah, tahun ini saya berkesempatan untuk menyaksikannya secara langsung. Menaiki kapal pesiar milik DISHUB Palembang yang mengambang di tengah-tengah luasnya hamparan Musi, saya dan sejumlah orang lainnya menonton perlombaan ini berlangsung, dari atas kapal. 

Kapal pesiar tempat menonton Bidar.
   Terik matahari memang agak mengganggu. Tapi tetap diimbangi dengan angin sepoi-sepoi yang mengundang rasa kantuk selama menunggu perlombaan di mulai. Seiring jam berganti – waktu itu kira-kira antara pukul dua belas lebih hingga jam dua sore, akhirnya penonton yang menunggu mulai bertambah – termasuk wartawan televisi lokal yang meliput dan menerbangkan drone tepat di atas perahu tatkala bidar-bidar itu melaju, berlomba untuk menentukan pemenang.





   Tahun ini, hanya ada delapan pendaftar perlombaan bidar – bahkan salah satunya mengundurkan diri karena suatu alasan. Jadi, mau tak mau, tujuh kelompok pendayung bidar inilah yang akan menjadi tontonan kami dari atas kapal pesiar. 

   Begitu aba-aba diumumkan, kedua perahu bidar mulai bergerak secepatnya. Kala itu juga, support penonton mulai menggema. Termasuk seruan seorang bocah yang berteriak lantang, “laju! Laju! Laju!” dengan semangat membara, seolah dirinya sendiri yang saat itu terlibat dalam perlombaan.



   Tiap pendayung – walau nampaknya kepanasan dan terus meneteskan peluh – tetap saja mengerahkan usaha, mengejar kemenangan yang akan ditentukan ketika mereka semua tiba di wilayah sungai yang menggenang di depan kompleks Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan lainnya. Tak tanggung-tanggung, penyelenggara perlombaan ini – demi menggugah kembali minat peserta bidar – mengiming-imingi hadiah berupa uang dengan jumlah yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. 





   Sejenak, bidar dan pengiringnya mulai hilang sejauh mata memandang. Namun, perahu-perahu hias yang beraneka ragam mulai berdatangan. Hari itu, saya menyaksikan banyak perahu hias dengan konsep yang mewakili sejumlah lembaga dan perusahaan – seperti PT. Bukit Asam dan Pertamina.

   Selanjutnya, dua perahu bidar lain kembali melaju, diikuti perahu hias lainnya. Dan begitulah yang seterusnya terjadi sampai sebagian peserta tersisih, sehingga babak berikutnya dapat terlaksana.


   Sayangnya, mengingat sore mulai takkan lama lagi datang, saya pun meninggalkan kapal pesiar itu pada sekitar pukul tiga sore, dan tak menyaksikan perlombaan hingga selesai. Walau begitu, tetap saja, berkesempatan melihat tradisi ini masih berjalan adalah wujud keberuntungan saya saat itu. Perlombaan itu cukup mengesankan, dan memperkuat ingatan saya tentang Kota Palembang yang kaya budaya. Saya sendiri berharap, semoga saja masyarakat masih bisa menyaksikan tradisi perlombaan ini pada masa-masa yang akan datang.[]



  



  

  

Comments

Popular Posts