Kisah Dari Dunia Pengasapan Ikan
Teks oleh Alifia Afflatus Zahra
Foto oleh Alifia Afflatus Zahra
Foto oleh Alifia Afflatus Zahra
Kira-kira hampir setahun silam, ketika saya bergabung dalam sebuah perkemahan di Hutan Mangli, di kaki gunung Andong, Jawa Tengah, saya berkesempatan mencicipi rasa ikan asap untuk pertama kalinya. Mengingat ayah saya membawa ikan-ikan segar yang ia peroleh langsung dari nelayan di pelelangan, malam itu pun saya dan kawan-kawan mengasap ikan di atas bara api unggun, selama semalam. Kemudian pada pagi harinya, kami tak lagi menemui ikan amis dan licin. Asap telah nyaris sepenuhnya menyerap cairan dari tubuh ikan. Jadilah makhluk yang tak lagi bernyawa itu menu lezat dengan cita rasa khas: ikan asap, atau terkenal dengan nama "mangut", yang menjadi salah satu ciri khas kota Semarang.
Setelah itu, kesempatan saya menikmati kuliner ala survival yang awet dalam jangka waktu lebih lama dari makanan lainnya ini: ikan asap, mulai berkurang.
***
18 Agustus 2015, ayah saya membawa pulang seplastik ikan asap.
"Ini dari Juwana. Produknya jelas lebih berkualitas dari beberapa tempat pengasapan ikan lainnya." jelasnya. "Itu karena ikan yang digunakan lebih segar." lanjut beliau.
Setelah lama tak memakan kuliner simpel namun lezat ini, akhirnya saya dapat melepas kerinduan terhadap cita rasanya yang tak kalah lezat dengan luxurious-food yang kini agaknya lebih diminati di tengah masyarakat.
Saat itu saya mulai berpikir. Jika ikan asap yang saya lahap di camp kami olah sendiri, dalam jumlah sedikit, dan untuk konsumen yang sedikit, bagaimana proses pengasapan ikan yang berbasis komersial untuk dapat didistribusikan kepada lebih banyak pasar dan konsumen?
Pertanyaan itu akhirnya terjawab keesokan harinya.
***
Pada 19 Agustus 2015, saya berpartisipasi dalam sebuah workshop yang dimentori oleh penulis perjalanan berpengalaman, Teguh Sudarisman. Selain untuk mengambil banyak dari ilmu menyangkut travel-writing beliau yang akan 'ditransfer' kepada para partisipan hari itu, saya juga tidak ingin melewatkan oportuniti untuk mengunjungi pusat pengasapan ikan di kota Semarang.
Nah... jika Anda bertanya-tanya, "mangut (atau ikan asap) sangat populer di Semarang. Namun, di mana pusat pembuatannya, ya? Bagaimana saya bisa melihat prosesnya langsung?", maka tempat yang tepat untuk menghapus rasa penasaran Anda adalah Bandarharjo.
Cerobong-cerobong yang menyemburkan asap di sekitar pengasapan ikan Bandarharjo. |
Bandarharjo bertempat di Semarang Utara. Untuk menemui akses situs menarik nan unik ini, Anda bisa meluncur melewati arteri Pelabuhan Tanjung Mas yang akan membawa Anda ke jalur untuk menuju sentra pengasapan ini. Atau, Anda bisa mengaksesnya melalui jalan Mpu Tantular. Sarana jalan menuju tempat ini pun cukup layak karena telah dipadatkan dengan paving.
Pada dasarnya, gambaran yang tepat untuk tempat ini adalah bangunan kayu kumuh yang pada masa lalu adalah lokasi tergenang air, dengan aroma ikan amis yang menguar, dan asap yang mengepul baik dari cerobongnya maupun dari pintu-pintu yang terbuka lebar. Di dalam sana, ratusan hingga ribuan ikan yang telah dipotong kira-kira sebesar separuh telapak tangan orang dewasa, terkapar dan bertumpuk-tumpuk dalam keranjang anyaman.
Ada beberapa jenis ikan yang diolah di sini, dari mulai tongkol, manyung, hingga pari yang harga jualnya lebih tinggi. Sebagian siap untuk diasap, sementara sebagian yang lainnya selesai diasap. Sementara itu, kemungkinan besar karena aroma ikan yang mengundang selera, sekelompok hewan penggemar ikan alias kucing, banyak mendekat di sekitar area ini.
Ketika saya berkunjung di sana, dua ekor sibuk mendekati tempat pekerja yang menusukkan lidi ke tubuh ikan. Di sisi lainnya, kucing-kucing berteduh di bawah motor tossa, untuk memperoleh aroma ikan, tanpa perlu kepanasan. Saya pikir... kucing-kucing itu ingin juga makan juga mangut. :D
Di tempat ini, saya dan teman-teman yang juga berpartisipasi dalam workshop yang sekaligus jalan-jalan ini, hanya mengunjungi tidak lebih dari tiga tempat di antara sekian banyak pondok kecil yang di sana-sini berisi alat-alat pengasap ikan, serta ikan-ikan yang mendominasi ruangan, berhubung waktu yang tersedia hanya kurang lebih dua jam.
Tatkala menyambangi pondok pertama, saya pertama kali memotret tumpukan ikan yang dirubung lalat, dalam boks plastik putih yang berjajar di bagian yang kira-kira adalah beranda tempat pengasapan itu.
Tumpukan ikan yang menunggu untuk diasap. |
"Itu ikannya mau diapain dulu, bu? Kok masih dijajar-jajarkan di situ?" seorang kawan bertanya pada salah seorang tenaga kerja yang tengah menusukkan lidi-lidi pendek pada tubuh ikan, agar tubuhnya tidak sobek ketika di asap, katanya.
Ibu itu menjawab seadanya. "Ya... ini kan masih nunggu antrian. Soalnya ikan yang mau diasap kan banyak sekali" begitu ujarnya, sembari terkekeh.
Ikan tengah ditusuk dengan batangan lidi. |
Menyangkut banyaknya jumlah ikan yang diolah di tempat ini, saya pun mengajukan pertanyaan pada orang yang sama, tentang berapa banyak ikan yang diolah dalam sehari.
"Lima hingga tujuh kuintal.
Nah... kala anak-anak muda ndak ngerti kuintal, jumlahnya dalam kilogram itu, sekitar tujuh ratus kilogram per harinya." jawabnya, seolah tak ada yang menakjubkan dari fakta ini. Tentu saja, walau pekerja di sini tidak juga sedikit, melakukan pekerjaan dari mulai memasukkan lidi ke dalam badan ikan, kemudian mengasap ikan, membolak-baliknya dan menunggu hingga matang, merelakan tangan kadangkala ikut terpanggang dan terbakar oleh panas api yang berkobar di tungkunya, bukanlah pekerjaan sederhana - meskipun dalam sekali mengasap, waktu yang diperlukan tidak lebih dari setengah jam.
Hal ini mengundang saya untuk berkomentar. "Kenapa sebentar banget, bu? Bukannya awetnya jadi cuma sebentar?"
"Iya... Karena kami ndak pakai pengawet untuk ikan-ikan ini, awetnya hanya sekitar dua hari. Tetapi, kalau kelamaan megasap pun hasilnya jadi terlalu kering, menghilangkan cita rasa..." pengasap yang telah berumur itu menjawab.
Lantas, di kala saya bertanya sampai kapan ikan ini diasap, ibu itu menjawab dengan polos. "Ya... sampai terlihat matang."
Hasil pengasapan yang kami cicipi bersama di sini. Umumnya, lidah dengan beragam selera tetap beranggapan ikan asap berasa lezat. |
Seorang wanita yang bekerja dalam bagian mengasap ikan, tengah bekerja sendirian dalam ruangan khusus pengasapan. |
Rupanya, 'kehidupan' di sentra pengasapan ikan ini sudah dimulai sejak pukul dua dini hari. Kemudian pada malam harinya, barulah ikan-ikan ini didistribusikan ke pasar tradisional. Harga jual ikan per-potong sekitar Rp. 2.500,-. Tetapi, untuk per kilogram, Anda dapat memperolehnya dengan harga Rp. 25.000,- hingga Rp. 50.000,-, dengan kurang lebih dua belas potong ikan tiap kilogram-nya. Selain distributor di pasar tradisional yang menjual mangut-mangut ini, penduduk sekitar pun acap kali memperoleh mangut dari tempat ini. Sebagian dari mereka memilih untuk membeli secara kiloan.
Sementara di sela-sela kesibukan yang melelahkan demi memperoleh pendapatan yang tak seberapa itu, saya tetap melihat wajah-wajah ceria dan tulus di sini. Mendengarkan percakapan para tenaga kerja yang diliputi kesederhanaan namun menyenangkan, membuat saya melihat sisi lain kehidupan di kota Semarang.
Travelers, dalam artikel ini, saya sangat rekomendasikan Anda untuk mengunjungi tempat ini sebagai destinasi wisata di Semarang, selain tempat wisata kuliner, alam, maupun bersejarah yang tersebar di seluruh penjuru kota.
Berfoto di tengah-tengah kepulan asap, di jalanan depan pondok-pondok pengasapan, kenapa tidak? |
Mengapa? Selain Anda bisa menggali pengetahuan mengenai pengasapan ikan, Anda dapat melembutkan hati untuk menjadi lebih bersahaja, dengan berbaur dengan manusia-manusia dari strata sosial yang berbeda, yang sebetulnya menerima wisatawan dengan tangan terbuka ini; dengan belajar dari kisah-kisah mereka, bergabung dalam canda tawa renyah mereka, dan tentu saja... mengabadikan pertemuan ini dalam cerita dan foto-foto.[]
Comments
Post a Comment