Ketika Sejarah Diintroduksikan Pada Anak; Di Trip HSMN Ke Museum Ranggawarsita
Komunitas HSMN (Homeschooling Muslim
Nusantara) wilayah Semarang memiliki kegiatan educative trip sebagai salah satu kegiatan triwulannya. Dan
pada pertengahan Juni, komunitas HSMN memilih situs museum sebagai tempat
kunjungan. Bersama puluhan anggota komunitas yang mencakup para orangtua dan
anak-anak, HSMN mengunjungi museum Ranggawarsita, Semarang, tepat pada tanggal 15 Juni di hari Senin.
Anggota-anggota komunitas ini tengah berkumpul di sekitar batu peresmian
museum Ranggawarsita yang terletak di ruang reservasi begitu saya hadir pada
pukul 09.00. Para ibu tengah bercakap-cakap, sementara anak-anak asyik bermain
dengan apa saja yang tersedia di depan mata mereka. Sekumpulan anak memanjat
batu di mana sertifikat peresmian terpampang, yang terletak di tengah-tengah
ruangan. sekelompok lainnya berlarian di ruangan, mengamati pengunjung lain –
dan, ada pula yang menjadikan loker di salah satu sisi ruangan sebagai tempat
duduk.
Walaupun
begitu, komunitas ini baru mendapat giliran memasuki museum pada pukul 09.45.
Dengan puluhan anggota yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, tentu saja kami
perlu menyewa dua pemandu yang akan bertutur mengenai sejarah benda-benda yang
tersimpan dalam museum Ranggawarsita – sehingga para partisipan dibagi menjadi
dua kelompok.
Anak-anak yang penasaran berkumpul di depan kaca pelindung benda-benda peninggalan. |
Saya bergabung dalam kelompok kedua dan
memulai tur museum dengan mendengar kisah-kisah yang ada dalam ruangan di mana
benda-benda berbahan dasar emas disimpan. Tak ada jenis item bersejarah
apapun dalam ruangan ini selain perhiasan-perhiasan serta harta benda manusia
berdarah ningrat pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Kami semua
dapat melihat kalung, cincin, mahkota, hiasan telinga – dan bukan hanya itu,
terdapat pula mangkuk untuk ritual, dan benda-benda lainnya. Seluruh harta
benda berbahan emas asli tersebut terkunci rapat dalam kotak kaca, sehingga
kami yang penasaran tak dapat menyentuhnya. Namun, memandangnya saja telah
membuat saya banyak bertanya-tanya tentang latar belakang benda-benda ini.
Penjelasan pemandu memberikan informasi yang menguatkan imaji tentang
tarikh-tarikh pada masa kerajaan Hindu dan Buddha menguasai Jawa Tengah.
Pemandu
memaparkan mengenai hiasan-hiasan leher yang dikenakan pria zaman dahulu, atau
mahkota-mahkota, cincin-cincin yang bersifat simbolis dan difungsikan sebagai
pengesah berita, mangkuk sebagai perlengkapan ritual, juga hiasan telinga yang
dinyatakan berbahan emas.
Di sudut
ruangan, terdapat sebuah kotak kaca yang memuat beberapa untai kalung dan
bulatan emas berukuran kecil. “Bulatan-bulatan emas ini dahulu serupa dengan
uang untuk bertransaksi.” Jelas pemandu wisata berpakaian adat Jawa Tengah
tersebut.
Berikutnya,
kami beralih ke ruangan lain yang lebih luas sekaligus memuat lebih banyak
benda peninggalan serta lukisan. Kali ini, benda-benda peninggalan tidak
terfokus pada barang-barang zaman Hindu-Buddha. Terjajar pula lukisan-lukisan
pahlawan serta miniatur yang menyiratkan kisah Indonesia pada masa penjajahan
oleh bangsa Eropa. Dalam ruangan ini, pemandu tur museum memulai penjelasan
dari lukisan pria-pria bersorban serta berbusana putih. Pada sisi kanan
lukisan, tampak pria-pria tersebut dengan gagah mengendalikan kudanya.
Sementara pada sisi lain, tampak mereka berdiri tanpa kudanya. Lukisan ini
menggambarkan tentang kisah pangeran Diponegoro yang memberontak penjajahan
Belanda, hingga ia pun terasing dalam sebuah daerah yang jauh dari masyarakat.
Gambar ketika beliau berada di atas kudanya yang berdampingan dengan kuda Kyai
Mojo yang juga menunggangi kudanya pun cukup menarik perhatian anak-anak ini.
Miniatur peristiwa pengesahan pembanunan. |
Pemandu
membawa para pengunjung dari komunitas HSMN untuk melihat miniatur
peristiwa-peristiwa penting yang dialami masyarakat Indonesia pada zaman
penjajahan. Ada beberapa miniatur yang berkisah. Sebuah miniatur menunjukkan
gambaran peristiwa pemberontakan komunis – sementara miniatur pada kotak kaca lainnya
menunjukkan kisah Jawa Tengah pada pertempuran Ambarawa, atau ketika Suharto mengesahkan
pembangunan sekolah, puskesmas, dan tempat-tempat lainnya di depan gubernur
Jawa Tengah. Ada banyak gambaran peristiwa penting lainnya yang tersirat dari
sekumpulan miniatur ini.
Yang
menarik adalah, pada salah satu kotak – terdapat miniatur pangeran Diponegoro
yang tetap bertekad perang sehingga ia diangkat dalam sebuah tandu dalam
perjalanan menuju peperangan – sementara tandu tersebut tersimpan dalam kotak
kaca besar yang ada dalam ruangan yang sama. Tampak wajah anak-anak HSMN
antusias begitu mengerubungi kotak kaca yang melindungi tandu bersejarah ini.
Karenanya –
saya mulai mengamati suatu hal yang menarik. Kadangkala, museum dirasa bukan
tempat kunjungan yang tepat untuk anak-anak berusia sekitar balita hingga usia
sekolah dasar. Beberapa orang percaya anak-anak tidak terlalu tertarik dengan
benda peninggalan kuno. Namun, dengan introduksi yang dikemas dengan apik dan
disesuaikan dengan anak-anak, peninggalan-peninggalan di museum yang menjadi
bukti-bukti sejarah justru menjadi hal yang menarik anak-anak. Tatkala pemandu
tur museum memaparkan sejarah kepada anak-anak maupun orangtua, saya mengamati
sikap anak-anak yang tertarik pada kisahnya, bahkan beberapa anak melontarkan
pertanyaan pada pemandu menyangkut apa yang ia lihat di museum ini.
Seorang anak yang mengamati arca. |
Saya yakin,
anak-anak tidak terlalu mengingat keseluruhan sejarahnya secara detail. Namun,
kegiatan ini dapat mengintroduksikan sejarah pada anak-anak sejak usia dini.
Sejarah sangat krusial, dan anak-anak perlu diajarkan mencintai sejarah sejak
mereka kecil, dengan cara yang disesuaikan dengan cara belajar dan pemahaman
mereka.
Dalam ruangan lain di lantai yang sama, ada
banyak hal lagi yang diceritakan oleh pemandu; kapal-kapal bersejarah,
seperti rekonstruksi kapal Samudraraksa yang pernah digunakan untuk melakukan
pelajaran ke Ghana, Afrika untuk mengangkut kayu manis pada abad ke-8 – juga
pada masa yang jauh lebih lampau; rekonstruksi bagian depan tubuh gajah purbakala,
manusia purba di Jawa Tengah pada masa berburu dan mengumpulkan makanan – di
mana manusia pada saat itu hidup nomaden (tidak menetap) dalam gua-gua serta
menggunakan batu-batu sebagai perkakas utama yang berfungsi untuk menguliti
kulit binatang buruan dan sebagai senjata.
Kisah-kisah
sejarah lainnya ada di lantai atas.
Begitu
menapaki lantai kedua, kami menemukan banyak hal lainnya yang menarik. Meski
begitu, tetap saja peran pemandu jugalah yang membuat peninggalan bersejarah di
sini menjadi lebih menarik. Sebab, Anda tahu – benda-benda peninggalan tak
dapat menuturkan sejarah dengan lengkap tanpa penjelasan dari mereka yang paham
sejarah.
Dalam
ruangan ini, kami menemukan beberapa perkakas masyarakat Jawa begitu mereka
memulai peradaban yang lebih baik dari perkakas purba. Salah satunya ialah
penumbuk nasi yang terbuat dari kayu jati. Selain itu, dipajang pula sejumlah
senjata, transporasi berupa kereta kuda serta beberapa wayang Sadat (wayang
yang digunakan untuk mengisahkan tentang masyarakat Muslim dengan paham
sinkretis di Indonesia), juga beberapa jenis wayang lain yang mengangkat cerita
dari kitab injil. Pun, sebuah transportasi kuno milik kerajaan di Jawa Tengah
pada masa lampau yang didominasi oleh warna hijau tua – menjadi tempat berfoto
yang menarik bagi anak-anak HSMN.
Di sisi
lain, sekelompok patung bertopeng menyeramkan berjajar. Patung-patung tersebut
menjadi model untuk kostum yang digunakan dalam beberapa kesenian tari yang menjadi
tradisi masyarakat Jawa. Untuk yang ini – saya enggan berlama-lama mengamatinya
– kecuali hanya dengan mengambil beberapa foto.
Kemudian,
saya memberikan tawaran pada adik saya yang berusia 4,5 tahun, “berani foto
bareng patung-patung itu nggak? Ayo, kakak fotoin!”
Tentu saja
ini bukan tawaran yang bagus. Sebab, anak bertubuh gempal itu menggeleng dan bergidik
– sembari memandang ngeri ke arah patung-patung berkostum menyeramkan tersebut
– yang mengingatkan pengunjung pada tokoh-tokoh film horror.
Tak jauh
dari letak patung-patung ini dipajang, terdapat tangga menuju lantai dasar.
Begitu pemandu telah membawa kami berkeliling di lantai atas ini, saya segera
menuruni anak-anak tangga dan mendapati bahwa tangga ini membawa saya ke sisi
lain museum yang kini dipenuhi kelompok pengunjung lain yang berjubelan
mengagumi benda-benda peninggalan yang dipajang. Sayangnya, sebelum menuntaskan
penjelajahan museum di tengah-tengah keramaian ini, saya segera menyerobot ke
luar ruang pajangan benda-benda peninggalan dan hanya sempat melirik beberapa
bilah keris.
Kegiatan
belajar atau pengenalan sejarah dalam ruangan-ruangan pajangan benda
peninggalan di museum Ranggawarsita telah diakhiri. Namun, bukan berarti
kegiatan di museum ini disudahi. Sebab, sesudah beristirahat dan menyantap
camilan sejenak – partisipan kegiatan dari komunitas HSMN punya hal lain yang
dilakukan. Kali ini, peserta kegiatan dikumpulkan dalam theater 3D kecil yang ada di gedung museum untuk menyaksikan
tayangan animasi 3D. Tentu saja, sesi kali ini menghebohkan para anak – terutama
di kala tokoh dalam film 3D tersebut ‘keluar dari layar’ bagaikan hendak
menyentuh para penonton. Agaknya, sesi inilah yang paling mengesankan bagi
mereka. Bahkan, sejumlah anak ingin menonton lagi untuk yang kedua kalinya –
yang akhirnya mereka lakoni tak berapa lama usai film pertama selesai.
Persiapan menonton film 3D. |
Trip
edukatif HSMN yang mengesankan ini diakhiri sesudah sesi menonton film 3D yang
diselingi dengan menyantap potluck bersama-sama.
Yang saya pertanyakan, situs edukatif mana lagi yang akan menjadi tempat tujuan
trip komunitas HSMN berikutnya?
Comments
Post a Comment