#UntukDirenungkan A Million Lesson of Life
Kita adalah
manusia. Manusia adalah makhluk yang dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi
makhluk pembelajar. Setiap detik yang kita lalui dalam kehidupan, bisa menjadi
sebuah pelajaran yang bisa dipetik untuk masa yang akan datang. Setiap manusia
perlu belajar dari apa pun, siapa pun, dimana pun, kapan pun dan bagaimana pun.
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya: Setiap
detik yang kita lalui dalam kehidupan, bisa menjadi sebuah pelajaran yang
dipetik untuk masa yang akan datang. Meskipun begiu, tidak semua orang
ingin memetik pelajaran itu. Tidak semua orang ingin belajar. Ada manusia yang
tidak mau belajar dari segala sesuatu.
Ada pepatah yang menceritakan bahwa
pengalaman adalah guru yang teramat sangat berharga. Ya, memang benar. Setiap
saat yang kita lakukan sekarang, di waktu mendatang akan menjadi sebuah
pengalaman. Dan mereka sangatlah berharga. Percaya tidak? Setiap detik adalah
pelajaran. Semisal, seorang bayi yang belajar tengkurap, setelah bisa tengkurap
dan dapat membalikkan tubuh ke posisi semula, ia akan belajar duduk. Kemudian,
si bayi akan belajar berdiri, berjalan, berlari dan seterusnya. Memasuki masa
berikutnya, ia akan belajar berbicara, menyanyi, menari, bertepuk tangan dll.
Selanjutnya, akan ada lebih banyak pelajaran yang akan ia ambil. Ketika ia
tumbuh menjadi anak-anak, maka ia akan belajar bersosialisasi, bersikap dengan
baik dan melakukan banyak hal yang ia perlukan kelak. Ketika dewasa pun, bahkan
hingga kita lansia, kita akan terus belajar. Maka dari itu, setiap saat adalah
pelajaran, bukan?
Sayangnya, banyak orang yang merasa ketika dewasa
tidak perlu belajar lagi, belajar dari pengalaman, orang lain, atau apa pun. Betapa
banyak orang dewasa yang sudah merasa berperilaku sempurna, sehingga tidak ada
yang perlu dipelajari lagi. Padahal, pengetahuan itu sangat luas. Tak mungkin
setiap manusia memahami segala jenis pengetahuan yang ada di muka bumi ini.
Setiap satu pengetahuan, akan bercabang ke pengetahuan dan pelajaran lain, lalu
akan muncul di pengetahuan lain, dan seperti itu seterusnya. Hanya ada satu
dzat yang ahli dan Maha Mengetahui segala sesuatu, segala pelajaran yang rumit-rumit,
baik itu pelajaran hidup dan segalanya, hanya Dia yang mengetahui: Allah SWT
Sang Pencipta. Benar bukan?
Ada contoh dari pengalaman nyata saya dan
baru-baru ini, bukan yang lampau-lampau sekali. Sepertinya paling lama 4 atau 5
tahun yang lalu (kira-kira), saya masih duduk di sekolah dasar. Saat itu, saya
bersekolah di sebuah sekolah formal dekat rumah. Yah, sekolah negeri…
Sesungguhnya, saya benci dengan yang namanya sekolah formal. Terlalu banyak
peraturan mengikat yang kurang bisa diterima. Alasannya, membatasi beberapa hal
yang sesungguhnya tidak diperbolehkan, namun istilahnya ‘diharamkan’ di sekolah
ini. Namun, kali ini pembahasan kita lain lagi.
Sewaktu guru melakukan tugasnya mengajar,
beliau menjelaskan suatu ilmu yang ia ketahui kepada murid-muridnya. Tak jarang
murid-murid beliau mengangkat tangan karena hendak bertanya tentang hal yang ia
tak mengerti, topiknya masih soal pelajaran yang dijelaskan oleh guru itu.
Bukan benar-benar pas dengan topik, yang penting temanya berhubungan, si guru
mau menjawab apabila ia mengetahui jawabannya.
Kali itu, saya benar-benar belum berpikir
bahwa ‘setiap orang belum tentu benar atau salah dalam menyampaikan sesuatu.
Karena dari sesuatu yang diberitahukan itu ada banyak sumber yang kita belum
yakin akan kebenarannya.’
Seperti biasa, saya menceritakan apa yang
telah saya pelajari di sekolah kepada orangtua. Saya juga membandingkan apa
yang si guru ceritakan dengan apa yang pernah saya baca di buku. Saya pikir,
guru itu benar dan buku itu salah, atau sebaliknya, saya pun masih bingung.
Kemudian, orangtua mulai mengajak diskusi tentang topik yang diajarkan guru ini
kepada kami. Orangtua punya pendapat lain. Beliau berpendapat, sumber dari buku
itulah yang ia anggap benar. Sebagai anak, biasanya yang saya percayai adalah
orangtua.
Sejak kecil, saya terbiasa mengetahui lebih
dari 1 pendapat yang berbeda mengenai sesuatu. Maka, saya sering berpikir
dalam-dalam mana yang benar dan mana yang salah. Saya pikirkan sebab dan
bagaimana akibatnya, pengaruhnya… Meskipun tentu saja, pemikiran saya belum
matang (hingga kini pun), saya selalu berusaha mempertimbangkan sesuatu dalam
hati. Maka, apa yang saya anggap lebih benar itulah yang akan saya praktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Maka, saya percaya dengan pendapat orangtua.
Keesokan harinya, saya mengutarakan pendapat
saya yang berbeda itu kepada sang pengajar. Dengan baik, beliau mau
mendengarkan pendapat saya. Kemudian, gilirannya berbicara, memberikan
tanggapan untuk pendapat saya dalam diskusi ini. Beliau ceritakan alasan
mengapa yang ia ajarkan seperti ini. Ternyata begini… ternyata begini… Saya
pikirkan lagi baik-baik pendapatnya. Apakah saya punya alasan lain, atau setuju
dan membenarkan pendapat guru saya itu.
Saya mengangguk-angguk tanda mengerti.
Sesampainya di rumah, segera saya ceritakan apa yang diutarakan guru itu
tentang apa yang beliau ajarkan. Saya menjelaskan mengapa alasannya begini…
Orangtua pun mengiyakan, “oooh jadi begitu yang ia maksud…” Jadi yang beliau
maksud bukannya menyimpang dari apa yang kami ketahui. Melainkan anggapannya
saja yang berbeda.
Dari cerita ini, saya belajar dari orang
lain. Karena saya bukanlah orang yang paling pintar. Begitu pun orang lain. Apa
salahnya mau belajar dari orang lain? Dengan mau belajar dari orang lain,
artinya kita tidak sombong dan menghargai kebaikan yang dimiliki orang lain.
Bisa Anda praktikkan mulai sekarang. Mudah ya?
Seperti cerita di atas, yang saya alami
adalah berpendapat berbeda dengan orang lain. Dan ketika mempertimbangkan, saya
percaya pendapat orang itu tidaklah salah. Apabila Anda punya pendapat yang
berbeda dengan orang lain, tak perlu ragu untuk mempertimbangkan pendapat yang
berbeda itu. Ketika Anda percaya Anda benar atau orang lain benar, maka
pelajaran yang Anda dapat sangatlah berharga. Anda jadi tahu mana yang salah
dan mana yang benar.
Ada lagi contoh tentang mau belajar dari
orang lain.
Saya homeschooler 12 tahun dan dari Nenek
saya, saya punya 4 sepupu. Kakak tertuanya adalah saya. Maka, saya pula yang
bersikap lebih dewasa. Namun, bukan berarti saya lebih pintar dari adik-adik
saya. Menurut saya, kami semua sama-sama pintar, tidak ada yang lebih mau pun
kurang, begitu pun semua manusia. Karena setiap ada yang memiliki sifat
terpuji, maka silahkan contohkan kepada yang lain. Dengan melakukannya, kita
telah melaksanakan kegiatan yang baik, mencontohkan/mengajarkan kebaikan kepada
orang lain. Ah, betapa indahnya hidup apabila diisi dengan membagi kebaikan!
Setiap adik saya telah mengajarkan banyak
hal kepada saya. Dan saya berterima kasih dengan amat sangat karenanya.
Saya pernah belajar ikhlas dari adik, saya
pernah belajar memaafkan dari adik, saya pernah belajar bersosialisasi dan
beramah tamah dari adik, saya sering belajar sabar dari adik, saya belajar
berbagi… menghargai, menyayangi, bahkan belajar mengalah dari adik! Begitu pun
mereka, mereka mencontoh banyak hal dari saya. Ketika saya melakukan ini,
mereka ingin meniru. Ketika saya ke sini-ke sana, dia juga ingin ikut. Bahkan
ketika saya belajar lama-lama, dia juga ingin belajarnya lama-lama. Karena
masih kecil, orangtua sering menyuruhnya tidur siang dan terpaksa belajarnya
terhenti. Dia bilang, “belajarku masih sebentar… Nanti kalau sudah besar, mau kayak Kakak, belajarnya lama!” nah,
berarti saya telah mencontohkannya untuk rajin belajar dan tidak
bermalas-malasan.
Kami saling mengajarkan, mencontohkan. Meski
tak berniat untuk melakukannya, tanpa sadar kami saling mengajarkan dan
mempengaruhi satu sama lain. Saya pun tak gengsi mengambil pelajaran dari adik
saya. Adik saya yang umurnya 3 tahun, hampir 4 tahun, namanya Althaf. Dia aktif
dan sering membuat saya repot. Sampai terkadang, saya terpaksa mengadu kepada
orangtua saya yang bisa meng-handle-nya.
Saya juga belajar melakukannya dari orangtua saya.
Namun, ada sebuah pelajaran penting nan
berharga yang saya pelajari lewat cerita yang diberikan orangtua saya tentang
Althaf.
Menurut cerita, ada seorang Nenek tua yang
menderita suatu penyakit apa lah, hingga jalannya pelan-pelan. Langkahnya
sedikit-sedikit, pendek-pendek dan berjalan pun ia menggunakan penyangga.
Meskipun begitu, si Nenek tua ini selalu berjalan untuk berbelanja dan ke
tempat yang tak jauh dari rumah, ya dengan langkah yang pendek-pendek itu,
memperpanjang waktu yang diperlukan.
Saat itu, adik saya Althaf sedang bermain
bersama anak-anak tetangga lainnya yang sepantaran. Di depan rumah tetangga,
ada 2 buah ayunan besi. Meskipun berkarat dan kursinya bolong-bolong, anak-anak
tetap suka memainkannya. Bukan hanya anak-anak, semua umur yang tinggal di
lingkungan itu suka menghabiskan waktu mereka berkumbul di ayunan dengan tempat
duduk di sebelahnya.
Tiba-tiba, Althaf yang asyik bermain ayunan
melihat si Nenek itu berjalan pelan-pelan. Yang mengejutkan, Althaf menyapa
Nenek itu dan memintanya untuk berhati-hati. “Mbah, jalannya hati-hati ya…” katanya lembut. Betapa ‘ajaibnya’
seorang anak balita sebegitu perhatiannya terhadap orang tua. Saya saja sering
tidak peduli dengan sekitar. Memang sifat bawaan lahir saya cuek bebek, tidak peduli sekitar. Namun,
saya belajar dari adik saya Althaf. Ditambah orangtua saya beribu-ribu kali
tanpa lelah menasihati saya tentang pentingnya peduli sesama, peduli sekitar.
Bagaimana bisa berosialisasi dengan baik apabila dengan sekitarnya saja tidak
peduli?
Maka, mulai saat ini saya terus berlatih
untuk meningkatkan kepedulian dengan sesama. Peduli itu indah, lho… Ayo kita
ciptakan bersama-sama dunia yang penduduknya saling mempedulikan!
Bukan hanya kali ini Althaf berlaku begitu.
Ketika ada tetangga sakit dan sebagainya, Althaf juga suka mengucapkan kalimat
sederhana namun sakti itu, penuh kepedulian dan membuat orang yang diajak
bicara menjadi senang: “hati-hati ya…” atau “semoga cepat sembuh ya…” Althaf
pun mengucapkannya dengan penuh keikhlasan plus gaya polos a la anak-anak
balita.
Namun, ada contoh yang berlawanan dengan
contoh-contoh sebelumnya. Saya pernah ikut les bimbel. Setiap kali les, tutor
menjelaskan ke murid tentang materi. Lantas kami mengerjakan soal yang tersedia
di modul. Terkadang mengerjakan soalnya bersama-sama. Terkadang juga
sendiri-sendiri.
Saya cukup menyukai pelajaran IPA. Meski
tidak unggul, tapi saya cukup menikmatinya. Namun, tentu rasa semangat belajar
pun jadi menyurut karena tutornya yang tidak cocok. Tutor yang satu ini kaku,
dan saya adalah salah satu murid yang paling sering ditegurnya. Menurut saya,
ia juga tidak friendly dan terkadang
saya anggap ‘sok-tau’…
Kali ini ada hal yang membuat saya kesal
sekaligus tertawa. Saat itu, anak-anak kelas 6 yang mengikuti les bimbel di LCC
sedang belajar IPA. Si guru mengajak untuk melakukan pembahasan soal-soal IPA.
Tiba-tiba, ada pertanyaan yang saya jelas-jelas tahu jawabannya. Dan saya sudah
sering menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang saya percayai benar.
Guru-guru di sekolah pun membenarkannya. Bahkan buku-buku. Namun guru yang satu
ini berbeda.
Berdebat sering saya lakukan dengan tutor
IPA ini. Dan setiap saya mengutarakan pendapat, ia tak pernah mau
mempertimbangkan. Ia hanya mau ilmu yang ia miliki itulah yang benar. Padahal,
manusia bisa salah. Kita bisa menyebutnya seseorang yang tak mau ‘belajar lagi’
dari orang lain.
Saya jadi kesalnya bukan main. Namun, budaya
sopan santun tak mengajarkan saya marah pada guru ini. Saya tahan rasa kesal
dalam hati. Apa gunanya rasa kesal itu? Menuakan wajah dan menyakitkan hati
sendiri. Lebih baik menertawakan sesuatu yang saya rasa mengesalkan. Saya pun
menertawakan hal ini: seorang tutor yang dipercaya oleh lembaga bimbingan
belajar untuk mengajarkan ilmunya kepada anak-anak, ternyata ada kesalahan
dalam apa yang dia ajarkan. Hal ini wajar. Namun, ketika ada yang berlaku baik membenarkan kesalahannya,
ia tak mau berterima kasih atau mempertimbangkan, melainkan teguh pendirian.
Teguh pendirian di sini dimaksud dengan ngotot,
tak mau mendengarkan orang lain… Baikkah contoh yang saya berikan ini?
Terserah Anda untuk menentukannya. Saya hanya memberi contoh yang menurut saya
kurang tepat. Anda boleh setuju atau pun sebaliknya.
Namun, sebagai makhluk pembelajar, tak ada
salahnya belajar dari sesuatu yang lain. Belajar itu bukan hanya duduk sambil
membaca buku teks seperti yang dilakukan di sekolah. Arti belajar itu luas. Tak
terhitung pelajaran yang bisa kita ambil. Apa pun yang Anda lihat, Anda bisa
belajar dari situ. Mari kita jadikan diri kita manusia yang tidak sombong atas
apa yang sudah ada, namun tetap bersyukur. Hilangkan kesombongan dengan merasa
belum pintar. Maka dari itu, carilah ilmu sebanyak-banyaknya. Gunakan ilmu itu
untuk hal yang bermanfaat, bagilah… Barulah ilmu itu akan berguna.
Semarang, 26 September 2014
Alifia Afflatus Zahra
Comments
Post a Comment