Mbolang di Penghujung 2015 ; 3 Alumnus ARKI Jalan di Semarang Sampai Kaki Gempor
Teks oleh Alifia Afflatus
Foto oleh Alifia Afflatus
Pertemuan ini rasanya takkan berwarna jika cuma dihabiskan di lawang sewu. Menurut yang telah direncanakan oleh Kak Elsina dan Kak Lintang, tempat yang selanjutnya akan menjadi tempat nongkrong kami ialah Citraland, untuk menonton film di bioskop. Saya pikir, tak ada salahnya sekali-kali menonton bioskop. Mungkin saya takkan terlalu suka filmnya, tapi tak apalah, yang penting kebersamaan.
Foto oleh Alifia Afflatus
Di salah satu foto yang saya unggah ke instagram, teman saya yang berasal dari Jayapura, sesama alumnus ARKI 2015 Batch 1, Kak Elsina dengan akunnya @elssenpai, mengajukan pertanyaan perihal tempat tinggal saya. Setelah mengatakan bahwa saya tinggal di Semarang, ia lantas mengajak saya untuk meet up alias bertemu, mengingat di bulan Desember ini ia menghabiskan liburannya di kota Semarang.
"Boleh, aku juga mau. Kapan kak?" balas saya.
Awalnya, kami mempertimbangkan bahwa kami akan bertemu pada tanggal 3 atau 4. Tapi, tiba-tiba Kak Elsina mengabari ada 1 lagi alumnus ARKI 2015 yang juga tengah berlibur di Semarang, Kak Lintang yang seorang pejalan dan pendaki (yang jauh lebih berpengalaman daripada saya), berkeinginan untuk bergabung dalam pertemuan kami.
Keputusan final adalah, kami bertiga akan bertemu di situs bersejarah Semarang yang fenomenal; Lawang Sewu, di hari terakhir tahun 2015, pukul 11.00.
Rencana ini berjalan, walau 'acara' kami ini akhirnya dimajukan waktunya. Kak Lintang telah tiba terlebih dahulu, yang membuat Kak Elsina akhirnya ikut-ikutan datang lebih awal. Jadilah saya tiba paling akhir di Lawang Sewu, tatkala matahari mulai bergeser semakin ke atas dan menyengat lebih ganas.
Setelah perjalanan yang tak singkat ke Lawang Sewu di Semarang bagian bawah, saya tak lantas bertatap wajah dengan 2 teman yang beberapa minggu silam bertemu di Jakarta ini. Saya beberapa kali kebingungan dengan Kak Elsina untuk memutuskan di mana kami hendak bertemu, hingga akhirnya saya membeli tiket masuk dan menuju ke tempat yang diputuskan olehnya.
"Kami tunggu di dekat tempat yang ada show musik." begitulah kira-kira yang dikatakannya.
Di salah satu lantai teratas Lawang Sewu |
Barulah setelah itu, pertemuan kami dimulai. Sedikit bumbu kecanggungan tentulah mengawali pertemuan ini, mengingat dalam acara ARKI, kami tidak terlalu akrab. Tapi seperti biasa yang saya lakukan, suasana mulai lebih menghangat ketika kami seketika menjadi lebih akrab setelah kami mengambil lebih banyak foto dan berjalan lebih jauh di beberapa sudut bangunan kuno ini.
Inilah spot di mana belum afdol kalau ke Lawang Sewu tapi tidak berfoto di sini. |
Pose ala Akademia ARKI 2015, isyarat tangan "The Next Creator!" |
Menyantap camilan sejenak di Lawang Sewu. |
Setelah memperoleh izin dari Mama saya, berlanjutlah perjalanan kami bertiga ke Citraland mall. Mama tak lagi mengikuti saya, beliau mampir ke tempat lain, sementara kami melesat naik angkutan kota ke mall tersebut.
"Di mana ya bioskopnya? Nggak kelihatan, tuh." komentar saya.
Kak Lintang menjawab. "Ya... kamulah yang tahu, tuan rumahnya.. Hahaha."
"Wuah, aku mah bukan anak mall... Jarang banget nongkrong di mall." balas saya, seraya terus berjalan hingga... akhirnya... bioskopnya terlihat dari kejauhan.
Dugaan awal adalah, kami akan memakan waktu singkat untuk membeli tiket, menonton film hingga selesai, dan pertemuan berakhir. Titik. Tapi perkiraan meleset jauh. Antrian tiket terlihat panjang dan berbelit bak permainan ular naga anak-anak. Kemungkinan besarnya adalah, tiket sudah habis tatkala kami sampai pada barisan terdepan antrian. Sementara waktu lain yang tersedia untuk menyaksikan tayangan filmnya ada pada pukul setengah tiga, yang biasanya akan selesai 2 jam setelahnya.
Khawatirnya... "jam 5 sudah tidak ada BRT..." cetus Kak Elsina.
Bukan kami jika lantas kehabisan alternatif untuk berjalan-jalan. Pertama-tama, tentunya kami kebingungan, mengingat baik saya, maupun kedua teman saya ini, agaknya bukan anak mall yang langsung tergiur dengan segala tetek bengek yang terpajang di setiap sudut pusat perbelanjaan ini. Jadi, tujuan kami bisa lebih mengerucut. Kebetulan, saat itu waktu berada pada pertengahan siang, dan perut-perut yang kosong ini perlu diisi. Jadilah kami mampir di sebuah food fair, memilih makanan, dan... menikmati makan siang bersama.
Di sela-sela makan siang, terpikir oleh saya bahwa pertemuan - masih saja - tak boleh terhenti di sini.
"Kayaknya sayang kalau kita pulang sekarang. Mumpung kalian ada di Semarang. Mau jalan ke mana lagi, nih?" tanya saya, menanyakan keputusan.
Tak ada yang punya ide.
Well, sebagai 'tuan rumah' alias si penduduk Semarang, sayalah yang perlu mencetuskan gagasan di kala ide mentok, tentang ke mana kami akan pergi selanjutnya. Awalnya saya pun tak punya pemikiran tentang ke mana akan berjalan lagi, kecuali setelah Kak Elsina men-scroll layar di fitur instagram, tepatnya di laman akun saya, dan bertanya tentang lokasi saya mengambil sebuah foto di mana saya berdiri di depan grafiti berupa 2 sayap yang terbentang lebar, dengan gambar Pasukan Bertopi Caping berbaris di belakangnya. Sayap ini, seakan menyediakan tempat untuk pengunjung yang ingin berpura-pura punya sayap.
"Ini di Kota Lama. Sudah pernahkah ke Kota Lama? Ada sejumlah spot foto bagus... Gedung-gedung dan grafiti ini." ucap saya.
"Gimana, mau?" tawar Kak Elsina pada Kak Lintang.
"Ya... terserah aja."
Saya mempertimbangkan sejenak. "Tapi ini siang dan pastinya panas banget. Nggak masalah, kan?"
Kak Lintang lantas meyakinkan kami melalui candaannya. "Nggak masalah, kan memang pada dasarnya udah item. Coba saja di antara kita ada yang warna kulitnya mencolok, hahaha!"
Benar juga, tak ada yang perlu dicemaskan. Sinar matahari yang menyengat itu sudah biasa, dan takkan ada masalah jika sepulang melancong ke daerah wisata, Kota Lama, ini, kami akan terlihat jauh lebih gelap.
Lagi-lagi, kami menggunakan angkutan oranye alias Angkot yang mengantar kami hingga ke Jembatan Berok, atau yang awalnya adalah jembatan Gouvernementsbrug, berikutnya berganti menjadi Sociteisbrug, dan akhirnya ditransformasikan menjadi Berok oleh orang-orang Pribumi berbahasa Jawa, yang dialeknya mungkin kesulitan menyebut Brug, dan mengucapkannya dengan aksen seadanya: Berok.
Kesannya agak memalukan memang, untuk memang bergaya dalam selfie di tepi jembatan ini. Tidak ada pemandangan apik yang melatarbelakangi kami, melainkan background keramaian kota, gedung-gedung tua, pepohonan dan unsur-unsur lainnya yang samasekali tidak menarik. Tapi... tujuannya lain lagi.
"Foto dulu nih, biar teman-teman envy. Hahaha!" tawa Kak Elsina.
Ya sudahlah... Foto pun kami ambil di spot ini. *Senyum dikit cekrek!
Berikutnya, petualangan ketiga pejalan ini berlanjut. Kami menyebrang dari jembatan ke gang besar yang di kanan kirinya berdiri kokoh bangunan tua. Berjalan di bawah paparan sinar matahari yang tak kenal ampun, tak pandang bulu dalam membakar siapapun yang berada di bawah sinarnya, menjadi hal yang melelahkan. Kaki kami belum lelah, tapi rasanya nyaris dehidrasi, cairan tubuh serasa akan habis tak lama lagi.
Canda tawa selalu ada di sela-sela perjalanan 'mbolang' kami ini. |
Akan tetapi begitu spot utama kita, gereja Blenduk, muncul di hadapan mata... Kamera ponsel Kak Elsina kembali bersiap untuk menangkap gambar. Okelah... bunyi "CEKREK" itu terdengar lagi setelah si pemilik ponsel menekan tombol putih, mengabadikan foto kami bertiga dengan kubah gereja Blenduk yang ikut bergabung dalam frame. Selama beberapa waktu ke depan, kami masih menjelajahi sebagian titik lagi di Kota Lama. Di beberapa dinding bergrafiti, gedung tua tak bernama, dan Taman Garuda. Sebagai penanda bahwa kami adalah alumnus-alumnus ARKI 2015 angkatan pertama, salah satu item ARKI kami pun turut dikenakan dalam foto.
Petualangan kami hari ini, tidak lantas berhenti setelah puas berjalan di sekeliling Kota Lama. Kak Elsina berpikir bahwa siang-siang begini, menurutnya es krim adalah menu pilihan. Mengingat Kota Lama tak terlalu jauh terhubung dengan Jalan Pemuda, di mana sebuah toko es krim kuno populer bergaya vintage, Toko Oen, berdiri.
Petualangan pertamanya adalah ketika kami berjalan dari jembatan Berok hingga ke jalan tempat pusat perbelanjaan Sri Ratu Pemuda, yang walau jika menurut ukuran pejalan mungkin dekat, namun terasa panjang apabila dijalankan di siang bolong. Sebab, kami dibuat bingung oleh sejumlah supir angkot yang bolak-balik salah mengarahkan angkot mana yang harus dipilih untuk menuju ke jalan tujuan. Keputusan bulat diambil berdasarkan supir terakhir yang mengarahkan, "jalan saja dekat kok, ndak usah naik angkot, cuma sebentar nanti sampai." kata bapak supir angkot itu.
Halah halah... piye tho? Bagaimana bisa kami justru diminta untuk berjalan kaki?
Tapi tak apalah. Belum menjadi pejalan sejati namanya jika belum berjalan sedikit jauh ke tempat tujuan.
Jalan raya dari jembatan layang. |
Hanya beberapa menit, kami sampai di toko Oen. Namun lagi-lagi...
"Jiahh, penuh nih kursinya." keluh saya, melihat seantero tempat duduk di toko ini tak satupun kosong oleh pelanggan.
Menunggu beberapa menit di sini tak ada gunanya. Toh pengunjung yang sudah selesai makan pun, tak mencurahkan sedikit toleransinya dengan menyudahi waktu kongkownya di tempat ini. Jadilah kami dibuat kecewa, dengan berjalan ke luar toko, mencari alternatif lain yang juga menyediakan es krim.
Tepat di depan toko ini, pusat perbelanjaan Sri Ratu berdiri. Ada food court kecil - seingat saya - di dalam Sri Ratu. Setelah berburu tempat paling tepat yang menjajakan jajanan berupa es krim, kami temukanlah penjaja martabak es krim berwajah Tionghoa, yang menjual dagangannya seharga bekisar 7K hingga kurang lebih 20K. Cukup enak jajanan yang saya santap itu.
Sri Ratu bukanlah tempat di mana akses ke daerah-daerah lain di Kota Semarang menjadi mudah. Waktu memang sudah berada pada puncak sore. Akan tetapi, saya tak tanggung-tanggung mengundang kedua teman saya ke rumah. Naik taksi yang membutuhkan ongkos seharga 80K, kami menempuh jalan berbelit dan dijebak macet ke rumah saya.
Jujur saja, di sinilah saya bisa mengatakan letak kekurangan saya sebagai seorang pejalan. Selama ini, saya kurang perhatian dengan jalan-jalan yang saya lalui, bahkan di Kota Semarang. Sehingga saat itu saya 'membodohi' diri saya sendiri dengan memilih jalur yang terlalu panjang (dan macet), di mana si supir berkepala botak di depan itu terus mengomeli beberapa pengendara lain di jalan, termasuk ambulans dan 1 mobil lain yang mengikutinya dari belakang, menyalakan lampu, mengisyaratkan bahwa pemilik mobil adalah keluarga seseorang yang diangkut dalam ambulas.
"Helehh... ngaku-ngaku keluarga mobile kuwi... Hah, koyok ngono kuwi perlu diterapi.-Huh... mengaku sebagai keluarganya mobil yang itu... Yang seperti itu, perlu 'diterapi'" ujarnya dalam bahasa Jawa. Ungkapan ini menggelitik saya seketika, ketika mengetahui perjalanan panjang yang melelahkan ini, tetap disisipi dengan hal-hal konyol tak terduga.
"Nah, stop di sini pak. Ini rumahnya." kata saya tatkala taksi telah melintas di depan rumah.
Fiuh... akhirnya... tiba juga kami di tempat terakhir pertemuan kami. Di tempat inilah - di rumah saya - kami mengakhiri keseruan pertemuan kami di penghujung tahun 2015, yang membuat kaki kami gempor sedari tadi berjalan ke sana kemari, menjadi para bolang di Kota Semarang. Di tempat inilah kami bisa duduk dengan - setidaknya - lebih nyaman, ditemani hembusan angin dari jendela lantai atas rumah saja. Kami menyanyi, bermain gitar, membicarakan perihal kenangan momen ARKI 2015, dan tentunya, membuat video... Untuk membuat teman-teman envy, kepingin membuat pertemuan juga.
Tak terasa, pada puncak sore hari menjelang petang, saya terpaksa berpisah dengan kawan-kawan pejalan ini. Dengan wajah yang telah lelah itu, kedua teman saya, Kak Lintang dan Kak Elsina, saya antar (bersama Papa saya pula) ke tempat di mana taksi mangkal, siap mengantar penumpang ke tempat yang dimintanya. Kak Elsina harus balik ke Ngaliyan, tempat anggota keluarganya tinggal, sementara Kak Lintang ke Ungaran, sebelum esok harinya ia akan kembali ke daerah asalnya; Banten.
Pembaca, izinkan saya menyisipkan harapan di akhir jurnal kecil saya ini. Semoga saja, suatu hari nanti, momen yang indah seperti ini dapat terulang, barangkali di lokasi lain, dan juga bersama teman-teman lain yang saat ini belum bisa bergabung dalam trip seru ini. Kapan kira-kira akan ada reuni bersama para alumnus ARKI lagi? Secepatnya, Insya Allah :D []
seruuuuu... gayeng puooool. salam kenal ya semuanyaaaa
ReplyDeleteIyaaa seru buanget kak, mari kapan2 kita mbolang bareng haha
DeleteBener2 nekat traveller �� Semoga bsa ketemu lagi yaa fi
ReplyDeleteamiin... Ingat di mana? di Papua, kak :p :D
Delete