Serangga Air Mengagumkan: Capung
Sekilas, tak ada yang istimewa dari makhluk ini. Namun, telaah lebih dalam, dan ia membuktikan bahwa makhluk bermata majemuk ini menarik untuk dipelajari. Si serangga air ini berhasil membuka mata saya untuk mempelajari banyak hal.
Ada yang tak biasa di Blok O, JAZ (Jogja Adventure Zone). Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam, saya kembali bersemangat. Sebab, ketika bangun dari tidur, tiba-tiba saja saya tiba di lokasi. Tempatnya cukup menyenangkan. Terdapat pepohonan rindang dan kolam-kolam yang memantulkan cahaya matahari. Cuaca cerah dan menyejukkan, cuaca favorit saya yang sulit ditemui. Di tempat ini, yang akan saya lakukan adalah belajar meneliti. Tentu saja, penelitian ini tidak saya lakukan seorang diri. Ada pula peserta lainnya yang juga melakukan penelitian bersama saya. Sebagai pemandu, terlihat sekelompok orang yang tergabung dalam Indonesia Dragonfly Society yang siap memandu para peserta yang terlibat dalam event penelitian yang satu ini. Sesungguhnya, penelitian ini diperuntukkan bagi kalangan anak-anak. Namun, tentu saja orang dewasa dapat mengawasi sambil ikut mempelajari tentang capung.
Pada awal acara, setelah acara dibuka, seorang anggota Indonesia Dragonfly Society menyanyikan sebuah lagu tentang capung. Lagu yang menarik. Liriknya benar-benar menceritakan serangga yang bernama capung itu. Ditambah iringan gitar jazzy dan dinyanyikan dengan sangat baik. Beruntung sekali, masih ada pencipta lagu bertemakan alam dan makhluk hidup. Pasalnya, yang sering kita dengar adalah lagu bertema cinta atau tema lainnya yang sering diusung dalam lagu. Lagu bertemakan alam dan isinya, kini langka sudah.
Setelah itu, para peserta mendengarkan penjelasan sedikit mengenai capung dan panduan-panduan awal dalam meneliti capung. Lantas, masing-masing dari kami mendapat buku yang berfungsi dalam penelitian ini. Di dalam buku tipis ini, tertulis tentang ciri-ciri capung. Terdapat pula panduan menjadi peneliti, tabel untuk menuliskan ciri-ciri capung yang ditemui, serta gambar dan nama latin capung.
Capung ialah serangga terbang yang pertama kali muncul pada zaman Karbon, sekitar 360-240 ratus juta tahun yang lalu. Makhluk penerbang ini dapat ditemui di sungai, rawa-rawa, danau, kolam, hingga pegunungan dan pantai. Menurut ilmu taksonomi (ilmu yang mempelajari mengenai klarifikasi), capung diklarifikasikan sebagai kingdom animalia, dengan phylum Arthropoda, class insecta, ordo ordonata dan subordo Anisoptera (capung atau sibar), dan Zygoptera atau capung jarum (Dragonfly dan damselfly).
Serangga ini terdiri dari kepala, dada (toraks), perut (abdomen) yang seringkali diduga sebagai ekor, dua pasang sayap serta enam kaki. Capung bermata majemuk. Yang dimaksud bermata majemuk adalah, memiliki dua mata dengan ribuan lensa. Maka, jangan heran jika Anda kesulitan menangkap maupun memotret capung. Sebab, ia tentulah dapat melihat Anda dengan mudah, lantas terbang menghindar. Tak heran jika capung dapat disebut dengan "Keen-Eyed Aviators" alias Penerbang Bermata Tajam.
Saran saya adalah, tangkaplah dahulu seekor capung, lalu bebaskan lagi. Umumnya, capung yang dibebaskan setelah ditangkap, awalnya masih lemas sehingga ia hinggap di dedaunan atau rumput. Jika kita memotretnya disaat masih lemas, capung itu takkan terbang menghindar. Menangkap seekor saja, memang sulit. Maka, Anda dapat menggunakan jaring penangkap serangga yang dapat dipanjangkan gagangnya.
Mungkin, manusia (yang bukan pakar dan peneliti atau pengamat capung), acap kali susah membedakan mana capung jantan dan betina. Terkadang, kesalahan dapat terjadi dalam mengenali jenis kelamin capung. Namun, membedakan jenis kelamin capung tidaklah sesulit yang dibayangkan. Hanya dengan melihat warna, embelan dan perilaku, jenis kelamin capung dapat dengan mudah dikenali. Capung betina memiliki warna tubuh yang cenderung lebih kusam, tidak mencolok dan hampir sama antar spesies. Sementara sang jantan memiliki warna yang lebih mencolok dan lebih banyak ragamnya.
Embelan juga dapat dilihat sebagai pembeda jenis kelamin capung. Embelan pada capung jantat berbentuk mirip capit untuk mencengeram leher betina disaat kopulasi atau tandem. Selain itu, pada perut ruas kedua bawah, terdapat alat reproduksi sekunder.
Betina memiliki embelan yang berbentuk katup, fungsinya untuk kopulasi dan meletakkan telur.
Saat posisi tandem atau kopulasi, jantan berada pada sisi atas atau depan, untuk menjaga betina, supaya tak diganggu oleh jantan lain. Sementara betina berada pada sisi bawah atau belakang.
Saat melakukan kopulasi, capung jantan mengaitkan embelan miliknya pada leher betina. Sang betina membengkokkan perutnya ke atas sementara ujung perutnya yang terdapat belahan, dikaitkan pada organ sekunder jantan yang ada pada perut ruas kedua. Setelah melakukan kopulasi, betina bertelur di dalam air atau batang tanaman, tanaman air tentunya. Telur yang menetas pun menjadi nimfa. Nimfa ini berada di air selama beberapa bulan.
Nimfa dapat berganti kulit hingga sepuluh hingga 15 kali, dan menghabiskan waktu selama lima jam. Barulah nimfa bermetamorfosis menjadi capung dewasa.
Beruntung sekali, peserta yang bergabung dalam satu kelompok dengan saya, mendapati sepasang capung betina dan jantan dalam posisi tandem, berterbangan di atas air kolam, sesekali hinggap pada tanaman air.
Lantas, bagaimana cara membedakan capung/sibar dengan capung jarum? Perbedaannya dapat terlihat dengan sangat jelas. Mata capung jarum menyatu, sementara capung jarum memiliki sekat antara kedua mata. Capung/sibar bertubuh lebih gemuk dan besar, berbeda dengan capung jarum yang berukuran lebih kecil dan ramping. Perbedaan juga dapat dilihat melalui sayap. Sayap capung memiliki ukuran sayap yang berbeda tiap pasangan. Satu pasang (depan) lebih besar dari pasangan sayap belakang. Capung jarum memiliki kedua sayap dengan ukuran yang sama. Keduanya mengatup di saat capung jarum hinggap.
Capung/sibar dapat menjelajah di area yang lebih luas dibanding capung jarum. Selain itu, kecepatannya lebih tinggi dari capung jarum yang kecepatan terbangnya lemah.
Mempelajari capung, tentulah kurang lengkap jika tak mempelajari mengenai siklus hidupnya. Daur hidupnya dimulai dari telur, nimfa, kemudian capung dewasa. Periode hidup capung tak berlangsung dalam waktu yang lama. Usia tertua capung kurang lebih tiga bulan. Faktanya, capung lebih lama menghabiskan waktu hidupnya sebagai nimfa, dan bukan capung dewasa.
Penelitian dimulai pada pukul 09.00 dan telah direncanakan akan usai setelah dua jam penelitian berjalan, yaitu pada pukul 11.00 ketika matahari mulai memancarkan sinar yang lebih terang dan panas dengan suhu lebih tinggi. Namun, saya rasa, daerah ini lebih sejuk dibandingkan kota tempat saya tinggal. Sebab, tanaman darat maupun air tampak tumbuh subur di lokasi penelitian ini.
Tampaknya, Blok O, lokasi penelitian di JAZ ini memang dirancang menjadi habitat capung sebagai serangga air. Ada beberapa kolam yang dilengkapi tanaman air. Pada lembar data pendukung, saya menambahkan beberapa deskripsi mengenai kondisi lokasi penelitian. Terdapat tiga kolam besar dan kecil, pohon besar dan tumbuhan air di mana capung dapat hinggap. Air kolam berwarna kehijauan, keruh... Namun, tentu saja tidak tercemar oleh bahan kimia. Indikatornya ialah capung-capung ini. Serangga air ini selektif, tak sembarangan memilih perairan sebagai habitatnya. Terdapat dua sifat capung dalam menjadi indikator kondisi kebersihan air. Adalah capung yang bersifat toleran, yang masih bertoleran terhadap air keruh, selama bahan kimia tak mencemarinya, contohnya seperti kolam yang keruh, atau bahkan selokan.
Berbeda dengan capung yang benar-benar hanya menjadikan air bersih sebagai tempat ia mencelupkan diri. Contoh tempat tersebut, adalah mata air. Entah itu capung yang bersifat toleransi, maupun yang sensitif, bemanfaat dalam menjadi bio-indikator kualitas air.
Sama seperti prekursor serangga lainnya, nenek moyang capung adalah serangga air, tepatnya berasal dari lautan. Seiring pergantian zaman, sebagian serangga lainnya tak lagi menjadi bagian dari makhluk air.
Apakah kesan Anda terhadap penampilan fisik capung? Yang kita lihat, serangga ini bertubuh kecil. Namun, siapa sangka? Si mungil ini ternyata seekor predator karnivora. Mereka memakan serangga lain, seperti kupu-kupu, lalat, kutu daun dll. Bahkan, capung dapat menjadi kanibal pemakan sesamanya. Sayangnya, kali ini, tak terlihat capung beraksi sebagai kanibal ganas.
Rupanya, predator mungil ini juga bermanfaat dalam bidang pertanian. Capung adalah pemakan hama wereng, hal ini menguntungkan para petani.
Saya tergabung dalam sebuah kelompok bersama beberapa orang lainnya. Selama penelitian menyusuri pinggir kolam-kolam yang dipenuhi tanaman di tepian, ada banyak capung yang menarik, penemuan menghebohkan yang mengundang rasa penasaran. Kak Magda dari Indonesia Dragonfly Society, yang berperan memandu anggota kelompok yang satu ini, menjelaskan berbagai macam hal soal penemuan kami di lokasi penelitian.
Penemuan pertama kami adalah Ryothemis Phyllis, yang ditemukan hinggap pada tanaman di tepi kolam pertama yang kami lalui. Spesies ini tergolong sibar dan bukan capung jarum. Kepalanya berwarna gelap - cokelat kehitaman. Sementara dadanya berwarna hijau. Warna perutnya, berwarna hitam dan sayapnya bercorak kuning dan hitam. Satu persatu, kami mencoba mengamati capung ini dengan seksama. Dengan jari tengah dan telunjuk, saya mengapit sayap-sayapnya, mengamati makhluk ini. Lalu, saya membebaskannya. Mungkin, ia khawatir jika menjadi tangkapan untuk kedua kalinya, Ryothemis Phyllis ini segera terbang jauh menghindar, mungkin memilih hinggap di tempat yang lebih tinggi dan tak terjangkau.
Bagaimana saya menentukan bahwa yang satu ini termasuk sibar? Lihatlah bagian dada dan perutnya, gemuk. Selain itu, kedua mata hitamnya tak bersekat.
Masih di tepi kolam yang sama, kami mulai mencari capung berikutnya. Ditangkap ketika sedang hinggap, spesies capung jarum yang bernama Ischnura Senegalnesis mengundang kehebohan anggota kelompok. Spesies yang satu ini berkepala hijau dan hitam. Dada tosca dan perutnya yang berwarna hitam serta biru muda terlihat kurus kerempeng. Ischnura Senegalnesis yang ditemukan berjenis kelamin jantan seekor, dan betina seekor. Dalam penemuan kedua ini, anggota (yang masih pemula) mencoba untuk menentukan jenis kelamin masing-masing capung jarum dengan spesies yang satu ini.
Berikutnya, kami mulai mencoba mendapat tangkapan lainnya, dengan harapan tangkapan itu berbeda spesies. Benar saja, spesies ketiga yang tergolong capung sibar ini bernama latin Urothemis Signata. Si merah mencolok ditangkap menggunakan jaring di saat ia berterbangan di atas permukaan air kolam. Urothemis Signata pertama yang ditemukan berjenis kelamin jantan, berkepala merah tua dengan dada dan perut yang juga merah mencolok. Namun, sayap transparannya memiliki bercak hitam pada bagian tepi. Selain jantan yang satu ini, di kolam kedua, ada juga sekitar sembilan Urothemis lain yang tertangkap pandangan saya, berterbangan, bagaikan mencari-nari di permukaan kolam.
Selanjutnya, kami menemukan Tholymis tillarga si capung senja. Kepalanya berwarna hijau dan oranye. Perutnya juga berwarna oranye dengan semburat kuning, sayapnya berwarna kuning, cokelat dan putih. Apa yang menjadikan "Capung Senja" sebagai nama Indonesia-nya? Rupanya, ia hanya muncul pada senja hari di mana mentari mulai menenggelamkan diri, dan langit tak seterang pagi atau siang. Sementara pada siang hari, ia mendekam pada semak-semak yang agak gelap.
Selain keempat spesies barusan, yang terdapat pada tabel pencatatan spesies dan karakteristik, telah tertulis tujuh spesies lainnya yang saya temukan. Ada Orthetrum sabina, Brachydiplax chalybea, Hydrobasileus croseus, Rhodotemis rufa, Acisoma muda, Pantala flavescens, dan Agriocnemis femina. Spesies-spesies yang tercatat dari tabel saya ini tidak didapatkan dengan mudah. Kami menyusuri setiap kolam dan mengintip pada semak-semak untuk mencari setiap ekor capung.
Ada pemandangan menarik pada kolam kedua. Kami mendapati sepasang Hydrobasileus coreus yang dalam posisi tandem, melakukan kopulasi. Sang betina tengah diapit oleh pasangannya, terlihat secuil telur kecil putih pada ujung embelannya, ia siap menetas.
Kami terus menyusuri tepi kolam. Terdapat kolam yang tak terlihat seperti kolam. Akan tetapi, pemandangan yang satu ini menipu. Permukaan kolam secara kesuluruhan ditanami eceng gondok. Maka, kolam ini bagaikan kolam eceng gondok dan bukannya kolam air. Saya mengabadikannya dalam sebuah foto.
Sebagai bonus, Kak Magda menunjukkan sarang burung manyar yang terdapat pada sela-sela cabang pepohonan. "Tepat di atas kepala kita itu, ada sarang burung manyar." ucapnya, menjelaskan.
Tampaknya, burung manyar merupakan arsitek hebat perancang dan pembuat sarangnya sendiri. Burung manyar mungkin didesain oleh Tuhan, untuk menjadi pembuat sarang genius. Tahukah Anda? Sarang burung manyar memiliki bilik-bilik ruangan seperti pada rumah manusia. Sungguh mengundang tanda tanya, bagaimana seekor burung dapat membangun sarang yang dilengkapi ruangan-ruangan? Sarang yang terbuat dari ranting-ranting dan daun kering ini, bahkan dapat menggantung pada ranting pohon, hanya dengan sehelai ranting yang terkait pada ranting.
"Sarang yang ini kosong, mungkin penghuninya (burung yang dulu bersarang) telah dewasa dan terbang ke tempat lain."
Dua jam telah berlalu. Tiba-tiba saja, aula Blok O terlihat semakin dekat. Penelitian telah berakhir. Dalam aula ini, para peserta yang berpartisipasi berkumpul, mulai membahas seputar kejadian selama penelitian. Selain itu, Indonesia Dragonfly Society mengajak peserta untuk bernyanyi bersama, dilanjutkan dengan penampilan anggota Indonesia Dragonfly Society yang menyanyikan lagi sebuah lagu yang mengusung tema capung, tentu saja.
Pada akhir acara, semua yang terlibat dalam event ini mengabadikan momen dalam foto. Ya, berfoto bersama: ritual wajib pada penutupan sebuah acara. Mengingat tanpa foto bersama, rasanya sebuah event takkan lengkap[]
Ada yang tak biasa di Blok O, JAZ (Jogja Adventure Zone). Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih empat jam, saya kembali bersemangat. Sebab, ketika bangun dari tidur, tiba-tiba saja saya tiba di lokasi. Tempatnya cukup menyenangkan. Terdapat pepohonan rindang dan kolam-kolam yang memantulkan cahaya matahari. Cuaca cerah dan menyejukkan, cuaca favorit saya yang sulit ditemui. Di tempat ini, yang akan saya lakukan adalah belajar meneliti. Tentu saja, penelitian ini tidak saya lakukan seorang diri. Ada pula peserta lainnya yang juga melakukan penelitian bersama saya. Sebagai pemandu, terlihat sekelompok orang yang tergabung dalam Indonesia Dragonfly Society yang siap memandu para peserta yang terlibat dalam event penelitian yang satu ini. Sesungguhnya, penelitian ini diperuntukkan bagi kalangan anak-anak. Namun, tentu saja orang dewasa dapat mengawasi sambil ikut mempelajari tentang capung.
Pada awal acara, setelah acara dibuka, seorang anggota Indonesia Dragonfly Society menyanyikan sebuah lagu tentang capung. Lagu yang menarik. Liriknya benar-benar menceritakan serangga yang bernama capung itu. Ditambah iringan gitar jazzy dan dinyanyikan dengan sangat baik. Beruntung sekali, masih ada pencipta lagu bertemakan alam dan makhluk hidup. Pasalnya, yang sering kita dengar adalah lagu bertema cinta atau tema lainnya yang sering diusung dalam lagu. Lagu bertemakan alam dan isinya, kini langka sudah.
Setelah itu, para peserta mendengarkan penjelasan sedikit mengenai capung dan panduan-panduan awal dalam meneliti capung. Lantas, masing-masing dari kami mendapat buku yang berfungsi dalam penelitian ini. Di dalam buku tipis ini, tertulis tentang ciri-ciri capung. Terdapat pula panduan menjadi peneliti, tabel untuk menuliskan ciri-ciri capung yang ditemui, serta gambar dan nama latin capung.
Capung ialah serangga terbang yang pertama kali muncul pada zaman Karbon, sekitar 360-240 ratus juta tahun yang lalu. Makhluk penerbang ini dapat ditemui di sungai, rawa-rawa, danau, kolam, hingga pegunungan dan pantai. Menurut ilmu taksonomi (ilmu yang mempelajari mengenai klarifikasi), capung diklarifikasikan sebagai kingdom animalia, dengan phylum Arthropoda, class insecta, ordo ordonata dan subordo Anisoptera (capung atau sibar), dan Zygoptera atau capung jarum (Dragonfly dan damselfly).
Serangga ini terdiri dari kepala, dada (toraks), perut (abdomen) yang seringkali diduga sebagai ekor, dua pasang sayap serta enam kaki. Capung bermata majemuk. Yang dimaksud bermata majemuk adalah, memiliki dua mata dengan ribuan lensa. Maka, jangan heran jika Anda kesulitan menangkap maupun memotret capung. Sebab, ia tentulah dapat melihat Anda dengan mudah, lantas terbang menghindar. Tak heran jika capung dapat disebut dengan "Keen-Eyed Aviators" alias Penerbang Bermata Tajam.
Saran saya adalah, tangkaplah dahulu seekor capung, lalu bebaskan lagi. Umumnya, capung yang dibebaskan setelah ditangkap, awalnya masih lemas sehingga ia hinggap di dedaunan atau rumput. Jika kita memotretnya disaat masih lemas, capung itu takkan terbang menghindar. Menangkap seekor saja, memang sulit. Maka, Anda dapat menggunakan jaring penangkap serangga yang dapat dipanjangkan gagangnya.
Mungkin, manusia (yang bukan pakar dan peneliti atau pengamat capung), acap kali susah membedakan mana capung jantan dan betina. Terkadang, kesalahan dapat terjadi dalam mengenali jenis kelamin capung. Namun, membedakan jenis kelamin capung tidaklah sesulit yang dibayangkan. Hanya dengan melihat warna, embelan dan perilaku, jenis kelamin capung dapat dengan mudah dikenali. Capung betina memiliki warna tubuh yang cenderung lebih kusam, tidak mencolok dan hampir sama antar spesies. Sementara sang jantan memiliki warna yang lebih mencolok dan lebih banyak ragamnya.
Embelan juga dapat dilihat sebagai pembeda jenis kelamin capung. Embelan pada capung jantat berbentuk mirip capit untuk mencengeram leher betina disaat kopulasi atau tandem. Selain itu, pada perut ruas kedua bawah, terdapat alat reproduksi sekunder.
Betina memiliki embelan yang berbentuk katup, fungsinya untuk kopulasi dan meletakkan telur.
Saat posisi tandem atau kopulasi, jantan berada pada sisi atas atau depan, untuk menjaga betina, supaya tak diganggu oleh jantan lain. Sementara betina berada pada sisi bawah atau belakang.
Saat melakukan kopulasi, capung jantan mengaitkan embelan miliknya pada leher betina. Sang betina membengkokkan perutnya ke atas sementara ujung perutnya yang terdapat belahan, dikaitkan pada organ sekunder jantan yang ada pada perut ruas kedua. Setelah melakukan kopulasi, betina bertelur di dalam air atau batang tanaman, tanaman air tentunya. Telur yang menetas pun menjadi nimfa. Nimfa ini berada di air selama beberapa bulan.
Nimfa dapat berganti kulit hingga sepuluh hingga 15 kali, dan menghabiskan waktu selama lima jam. Barulah nimfa bermetamorfosis menjadi capung dewasa.
Beruntung sekali, peserta yang bergabung dalam satu kelompok dengan saya, mendapati sepasang capung betina dan jantan dalam posisi tandem, berterbangan di atas air kolam, sesekali hinggap pada tanaman air.
Lantas, bagaimana cara membedakan capung/sibar dengan capung jarum? Perbedaannya dapat terlihat dengan sangat jelas. Mata capung jarum menyatu, sementara capung jarum memiliki sekat antara kedua mata. Capung/sibar bertubuh lebih gemuk dan besar, berbeda dengan capung jarum yang berukuran lebih kecil dan ramping. Perbedaan juga dapat dilihat melalui sayap. Sayap capung memiliki ukuran sayap yang berbeda tiap pasangan. Satu pasang (depan) lebih besar dari pasangan sayap belakang. Capung jarum memiliki kedua sayap dengan ukuran yang sama. Keduanya mengatup di saat capung jarum hinggap.
Capung/sibar dapat menjelajah di area yang lebih luas dibanding capung jarum. Selain itu, kecepatannya lebih tinggi dari capung jarum yang kecepatan terbangnya lemah.
Mempelajari capung, tentulah kurang lengkap jika tak mempelajari mengenai siklus hidupnya. Daur hidupnya dimulai dari telur, nimfa, kemudian capung dewasa. Periode hidup capung tak berlangsung dalam waktu yang lama. Usia tertua capung kurang lebih tiga bulan. Faktanya, capung lebih lama menghabiskan waktu hidupnya sebagai nimfa, dan bukan capung dewasa.
Penelitian dimulai pada pukul 09.00 dan telah direncanakan akan usai setelah dua jam penelitian berjalan, yaitu pada pukul 11.00 ketika matahari mulai memancarkan sinar yang lebih terang dan panas dengan suhu lebih tinggi. Namun, saya rasa, daerah ini lebih sejuk dibandingkan kota tempat saya tinggal. Sebab, tanaman darat maupun air tampak tumbuh subur di lokasi penelitian ini.
Tampaknya, Blok O, lokasi penelitian di JAZ ini memang dirancang menjadi habitat capung sebagai serangga air. Ada beberapa kolam yang dilengkapi tanaman air. Pada lembar data pendukung, saya menambahkan beberapa deskripsi mengenai kondisi lokasi penelitian. Terdapat tiga kolam besar dan kecil, pohon besar dan tumbuhan air di mana capung dapat hinggap. Air kolam berwarna kehijauan, keruh... Namun, tentu saja tidak tercemar oleh bahan kimia. Indikatornya ialah capung-capung ini. Serangga air ini selektif, tak sembarangan memilih perairan sebagai habitatnya. Terdapat dua sifat capung dalam menjadi indikator kondisi kebersihan air. Adalah capung yang bersifat toleran, yang masih bertoleran terhadap air keruh, selama bahan kimia tak mencemarinya, contohnya seperti kolam yang keruh, atau bahkan selokan.
Berbeda dengan capung yang benar-benar hanya menjadikan air bersih sebagai tempat ia mencelupkan diri. Contoh tempat tersebut, adalah mata air. Entah itu capung yang bersifat toleransi, maupun yang sensitif, bemanfaat dalam menjadi bio-indikator kualitas air.
Sama seperti prekursor serangga lainnya, nenek moyang capung adalah serangga air, tepatnya berasal dari lautan. Seiring pergantian zaman, sebagian serangga lainnya tak lagi menjadi bagian dari makhluk air.
Apakah kesan Anda terhadap penampilan fisik capung? Yang kita lihat, serangga ini bertubuh kecil. Namun, siapa sangka? Si mungil ini ternyata seekor predator karnivora. Mereka memakan serangga lain, seperti kupu-kupu, lalat, kutu daun dll. Bahkan, capung dapat menjadi kanibal pemakan sesamanya. Sayangnya, kali ini, tak terlihat capung beraksi sebagai kanibal ganas.
Rupanya, predator mungil ini juga bermanfaat dalam bidang pertanian. Capung adalah pemakan hama wereng, hal ini menguntungkan para petani.
Saya tergabung dalam sebuah kelompok bersama beberapa orang lainnya. Selama penelitian menyusuri pinggir kolam-kolam yang dipenuhi tanaman di tepian, ada banyak capung yang menarik, penemuan menghebohkan yang mengundang rasa penasaran. Kak Magda dari Indonesia Dragonfly Society, yang berperan memandu anggota kelompok yang satu ini, menjelaskan berbagai macam hal soal penemuan kami di lokasi penelitian.
Bagaimana saya menentukan bahwa yang satu ini termasuk sibar? Lihatlah bagian dada dan perutnya, gemuk. Selain itu, kedua mata hitamnya tak bersekat.
Masih di tepi kolam yang sama, kami mulai mencari capung berikutnya. Ditangkap ketika sedang hinggap, spesies capung jarum yang bernama Ischnura Senegalnesis mengundang kehebohan anggota kelompok. Spesies yang satu ini berkepala hijau dan hitam. Dada tosca dan perutnya yang berwarna hitam serta biru muda terlihat kurus kerempeng. Ischnura Senegalnesis yang ditemukan berjenis kelamin jantan seekor, dan betina seekor. Dalam penemuan kedua ini, anggota (yang masih pemula) mencoba untuk menentukan jenis kelamin masing-masing capung jarum dengan spesies yang satu ini.
Berikutnya, kami mulai mencoba mendapat tangkapan lainnya, dengan harapan tangkapan itu berbeda spesies. Benar saja, spesies ketiga yang tergolong capung sibar ini bernama latin Urothemis Signata. Si merah mencolok ditangkap menggunakan jaring di saat ia berterbangan di atas permukaan air kolam. Urothemis Signata pertama yang ditemukan berjenis kelamin jantan, berkepala merah tua dengan dada dan perut yang juga merah mencolok. Namun, sayap transparannya memiliki bercak hitam pada bagian tepi. Selain jantan yang satu ini, di kolam kedua, ada juga sekitar sembilan Urothemis lain yang tertangkap pandangan saya, berterbangan, bagaikan mencari-nari di permukaan kolam.
Selanjutnya, kami menemukan Tholymis tillarga si capung senja. Kepalanya berwarna hijau dan oranye. Perutnya juga berwarna oranye dengan semburat kuning, sayapnya berwarna kuning, cokelat dan putih. Apa yang menjadikan "Capung Senja" sebagai nama Indonesia-nya? Rupanya, ia hanya muncul pada senja hari di mana mentari mulai menenggelamkan diri, dan langit tak seterang pagi atau siang. Sementara pada siang hari, ia mendekam pada semak-semak yang agak gelap.
Selain keempat spesies barusan, yang terdapat pada tabel pencatatan spesies dan karakteristik, telah tertulis tujuh spesies lainnya yang saya temukan. Ada Orthetrum sabina, Brachydiplax chalybea, Hydrobasileus croseus, Rhodotemis rufa, Acisoma muda, Pantala flavescens, dan Agriocnemis femina. Spesies-spesies yang tercatat dari tabel saya ini tidak didapatkan dengan mudah. Kami menyusuri setiap kolam dan mengintip pada semak-semak untuk mencari setiap ekor capung.
Pasangan capung berkopulasi |
Seekor capung yang hinggap setelah bebas dari tangkapan |
Sebagai bonus, Kak Magda menunjukkan sarang burung manyar yang terdapat pada sela-sela cabang pepohonan. "Tepat di atas kepala kita itu, ada sarang burung manyar." ucapnya, menjelaskan.
Tampaknya, burung manyar merupakan arsitek hebat perancang dan pembuat sarangnya sendiri. Burung manyar mungkin didesain oleh Tuhan, untuk menjadi pembuat sarang genius. Tahukah Anda? Sarang burung manyar memiliki bilik-bilik ruangan seperti pada rumah manusia. Sungguh mengundang tanda tanya, bagaimana seekor burung dapat membangun sarang yang dilengkapi ruangan-ruangan? Sarang yang terbuat dari ranting-ranting dan daun kering ini, bahkan dapat menggantung pada ranting pohon, hanya dengan sehelai ranting yang terkait pada ranting.
"Sarang yang ini kosong, mungkin penghuninya (burung yang dulu bersarang) telah dewasa dan terbang ke tempat lain."
Dua jam telah berlalu. Tiba-tiba saja, aula Blok O terlihat semakin dekat. Penelitian telah berakhir. Dalam aula ini, para peserta yang berpartisipasi berkumpul, mulai membahas seputar kejadian selama penelitian. Selain itu, Indonesia Dragonfly Society mengajak peserta untuk bernyanyi bersama, dilanjutkan dengan penampilan anggota Indonesia Dragonfly Society yang menyanyikan lagi sebuah lagu yang mengusung tema capung, tentu saja.
Pada akhir acara, semua yang terlibat dalam event ini mengabadikan momen dalam foto. Ya, berfoto bersama: ritual wajib pada penutupan sebuah acara. Mengingat tanpa foto bersama, rasanya sebuah event takkan lengkap[]
Sebuah paralayang tertangkap foto sedang mengambang di angkasa, apakah benda ini dirancang dengan konsep anatomi tubuh capung? |
artikel yang bagus dan informatif..... terima kasih
ReplyDeleteterima kasih kembali, semoga bermanfaat
Delete